Seusai makan siang Kendall tidak langsung kembali ke kelas melainkan mampir dulu ke loker untuk mengambil beberapa buku yang dia butuhkan untuk kelas berikutnya. Dia ke loker sendirian karena Gigi dan Hails juga ingin ke toilet dulu. Dia meyakinkan dirinya kali ini tidak akan terjadi hal buruk meski sebenarnya dia sedikit khawatir Selena dan teman-temannya akan mencari karena kejadian di kafetaria tadi. Mengantisipasi hal tersebut Kendall memutuskan untuk cepat-cepat memgambil bukunya dan segera kembali ke kelas namun sesampainya di loker ada hal yang menarik perhatiannya.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri dia melihat seorang gadis nerd sedang dikerubuti sekelompk gadis tapi itu bukan kelompok Taylor, Kendall tidak mengenal mereka.
Kendall terpaku di tempatnya menyaksikan salah satu dari mereka mendorong gadis nerd itu hingga tubuhnya membentur loker, cukup keras benturan itu karena Kendall mendengarnya dengan jelas. Kendall menelan ludah, dia pernah mengalami hal yang sama di sekolahnya dulu.
Entah mengapa Kendall tergerak untuk menghampiri gadis nerd itu setelah para gadis-gadis bitchy itu berlalu dengan angkuhnya.
"Kau tak apa?" ucap Kendall sambil membantu gadis itu mengambil kertas yang berserakan di lantai. Gadis nerd tadi mengangkat kepalanya lalu membenarkan letak kaca matanya sebelum menggumamkan kalimat bahwa dia baik-baik saja.
"Terima kasih," ucap gadis itu.
"Eh, aku Kendall. Siapa namamu?"
"Ariana. Aku sudah tahu, aku yang disuruh Taylor untuk menyampaikan pesan dari Mr. Gray kepadamu," jawab gadis nerd tadi.
Kendall mengingat sejenak dan benar dia adalah gadis itu.
"Ya aku ingat." Tapi kau dibohongi oleh Taylor, batin Kendall.
"Terima kasih Kendall, sampai jumpa."
Kendall masih tertegun di tempatnya sampai tidak sadar bahwa Ariana telah menjauh dari hadapannya, dia terlampau memikirkan kejadian waktu Taylor mengancam dirinya. Menggelengkan kepalanya, Kendall lalu bergerak menuju lokernya dan lekas ke kelas sebelum hal yang terjadi pada Ariana menimpa dirinya juga.
***
Dering ponsel yang berbunyi nyaring mengusik konsentrasi Kendall. Dia meraih ponsel miliknya yang berada di ranjang. Senyum lebar tercetak di bibirnya saat melihat id penelphone.
"Kylie!" Kendall berteriak karena terlampau semangat.
"Wohooo, semangat sekali," sahut sang penelphone, Kylie, adiknya.
"Jahat sekali kalian tak ada yang menelphoneku, sepertinya kalian benar-benar senang aku tidak ada di rumah," cercah Kendall sedikit dramatis. Memang sejak dia berada di London keluarganya belum ada yang menghubunginya.
"Bukan begitu. Kami justru menunggu telphone darimu, perbedaan waktu kau tahu jadi kami takut menelphone disaat yang tidak tepat dan mengapa kau tidak menelphone." Kendall bergeming.
"Uh aku.."
"Ya ya aku mengerti dan bagaimana kabarmu?" Kendall menggeleng saat mendengar adiknya menyela, kebiasaan Kylie. Adiknya tidak terlalu suka menunggu lawan bicaranya berpikir terlalu lama hanya untuk sebuah alasan yang dipaksakan.
"Aku baik," jawab Kendall dengan nada suara yang sedikit turun kemudian dia mendengar Kylie menghela nafas.
"Kau tahu dimanapun kau berada kau akan mendapatkan permasalahan yang sama. Semua sekolah sama, akan ada orang-orang yang sepertimu juga orang-orang yang kurang bisa berbuat baik. Kuncinya bagaimana bisa kau bertahan, memakan atau dimakan."
Ucapan panjang Kylie membuat Kendall terdiam, mendengar kalimatnya seolah dia tahu bahwa di sekolahnya yang baru dia mendapatkan masalah yang sama dan itu benar. Kendall tidak benar-benar bermaksud membuat siapapun khawatir termasuk Kylie tapi dia dan Kylie tumbuh dan menghabiskan waktu bersama hampir setiap saat sehingga dia terkadang membenci saat ia tidak bisa berbohong pada keluarganya terutama Kylie.
"Mengapa kau tidak mengatakan itu saat aku masih di rumah?" Kendall buka suara.
"Karena kau sudah terlanjur mogok sekolah seperti balita yang tidak mau sekolah jika tidak diberi permen," jawab Kylie, Kendall mendengar kekehan kecil adiknya dan itu sedikit menyinggung perasaannya. Dia merasa Kylie sedang mencibirnya.
"Tapi aku setuju kau pindah sekolah karena kupikir itu lebih baik, kau tidak akan beubah jika tetap bertahan."
"Huhh." Kendall mendengus.
"Baiklah aku tidak akan mengguruimu."
"Tapi kau sedang melakukannya," sela Kendall.
"Jadi bagaimana London?" Kylie mengabaikan protes kakaknya.
"Aku mendapatkan teman wanita, mereka baik."
"Aku senang mendengarnya. Kau sudah berkeliling?"
"Belum."
"Apa! Yang benar saja, apa yang kau lakukan selama seminggu. Jangan bilang kau tidak keluar selain ke sekolah," cercah Kylie.
Tidak kunjung mendapat respon membuat Kylie bisa menebak jawabannya.
"Jam berapa di sana?"
"4 sore."
"Aku mau kau keluar sekarang, pergilah jalan-jalan," perintahnya.
"Tidak bisa."
"Jangan membuat alasan, keluar rumah menjadi langkah awal dan berbicaralah dengan orang asing."
"Tapi.."
"Aku tidak mau tahu, angkat tubuhmu sekarang dan aku ingin bukti jika kau melakukannya."
"Aku harus naik apa, di sini tidak ada mobil dan Brody masih di kantor."
"Aku menyuruhmu pergi sendiri dan naiklah taksi atau bus. Tidak. Tidak, jangan naik bus, naik taksi saja."
"Kylie.."
"Aku serius Kendall Jenner, kau membuatku ragu apakah kau benar-benar saudara kami atau bukan karena diantara keluarga kita hanya kaulah yang penakut dan pemalu."
"Kau berpikir begitu?" tanya Kendall dengan suara rendah.
"Tunggu. Kau menangis?" sahut Kylie karena ia mendengar isakan yang samar. Tidak ada respon.
"Oh Tuhan. Kendall hentikan, aku tidak benar-benar bermaksud," ucap Kylie lagi.
Kendall mengusap matanya kemudian mengatur pita suaranya, sadar bahwa dia menjadi begitu berlebihan.
"Baiklah lebih baik kau keluar dan temukan orang baru untuk kau jadikan teman lalu berikan aku fotonya sebagai bukti."
"Apa itu baik untukku?"
"Tentu saja. Percayalah itu tidak semengerikan yang kau bayangkan."
"Baiklah," jawab Kendall pasrah.
"Bagus, semoga beruntung."
***
"Aku bosan." Harry melempar stick playstation miliknya ke sembarang tempat. Sudah dua jam mereka bermain game dan hasilnya selalu seri membuatnya sedikit kesal. Cara yang menjadi lawan bermainnya juga ikut meletakkan stick miliknya.
"Kau selalu kesal jika tak bisa melawanku," ucap Cara.
"Kita seri dan aku hanya bosan," kilah Harry. Cara memutar bola matanya bosan dengan alasan yang selalu Harry ucapkan.
"Cara?" Panggil Harry, tiba-tiba dia menjadi serius.
"Kau berteman dengan anak baru itu," ucap Harry.
"Anak baru yang mana?"
Harry mengetatkan rahangnya, tahu jika gadis di hadapannya ini sebenarnya mengerti siapa yang dia maksud. Banyak menghabiskan waktu bersama membuatnya hafal karakter gadis yang sudah menjadi tetangganya sejak mereka lahir.
"Kau tahu siapa yang kumaksud," tukas Harry.
"Kau tidak menyebutkan nama jadi aku tidak tahu," jawab Cara dengan ekpresi datar.
"Kendall Jenner," ucap Harry kemudian mengatupkan rahangnya kuat-kuat, entah mengapa menyebut namanya membuat perutnya menjadi mual kemudian wajahnya memanas.
"Bukankah dia juga temanmu, dia sekelas denganmu bukan?" Cara balik bertanya.
"Memang."
"Lalu?"
"Tidak apa-apa," jawab Harry ketus.
Melihat wajah Harry yang muram membuat Cara terkekeh.
"Kau menyukainya," tembak Cara membuat Harry menoleh cepat dengan kelopak mata melebar.
"Tidak," sahutnya terlalu cepat.
"Kau tidak bisa menggunakan ekpresimu untuk mengelabuiku."
"Aku lupa kau pembaca pikiran."
Cara langsung memamerkan seringgai andalannya yang hanya dia perlihatkan ketika ingin mengejek Harry.
"Kau benar," gumam Harry membuat Cara tersenyum puas. Dia tidak pernah gagal membaca ekpresi dan gerak-gerak seseorang tapi bukan berarti dia memiliki kekuatan untuk membaca pikiran. Itu hanya instingnya saja.
"Dia gadis seperti apa?" tanya Harry lagi.
"Mengapa kau tidak mencari tahu sendiri, kau bahkan sekelas dengannya."
"Kau tahu posisiku." Harry menggeram.
"Omong kosong, alasan itu kau gunakan karena kau memang tidak tertarik dengan mereka, pria tampan yang dingin," cibir Cara menirukan julukan yang diberikan para gadis di sekolahnya. Harry terdiam, itu tidak benar, dia memang ingin melindungi para gadis agar tidak menjadi korban bully Taylor dan gengnya tapi Cara tidak sepenuhnya salah karena sejujurnya dia juga enggan berurusan dengan gadis-gadis yang selama ini belum ada yang menarik hatinya.
"Dia gadis lucu yang aneh tapi baik," gumam Cara kemudian membuat Harry memincingkan jidadnya.
"Dia terlalu penakut, selalu gugup jika berbicara, sangat polos dan... dia baik."
Cara kembali mengamati ekpresi Harry namun pria itu segera memalingkan wajahnya dari tatapan Cara.
"Ada banyak cara untuk mendekatinya jika kau memang khawatir dia terkena masalah dengan Taylor," lanjut Cara.
"Maksudmu?"
"Kau tidak harus bicara dengannya di sekolahkan, ada banyak tempat di London yang tidak akan disukai tipe gadis seperti Tay dan gengnya," jelas Cara.
Harry terdiam, dia memikirkan pendapat Cara namun dari mana dia akan memulai jika memulai menyapa gadis itu saja sudah membuatnya gugup setengah mati meski dia telah berusaha keras untuk menutupi getaran tubuhnya.
"Tolong aku," ucap Harry tiba-tiba.
"Hah?"
"Bantu aku mendekatinya," mohonnya.
"Tidak mau. Mengapa kau tidak minta bantuan teman-teman idiotmu itu," sergah Cara.
"Mereka lebih banyak menggoda dari pada membantu, ayolah bantu aku," rengek Harry.
"Aku sudah memperingatkannya untuk jauh-jauh darimu."
"Apa!" seru Harry tidak terima.
"Mengapa kau melakukan itu, bodoh."
"Bukankah itu yang biasa kau lakukan, sebisa mungkin membuat tidak ada yang berurusan denganmu," sangkal Cara.
"Ya tapi tidak dengannya," gumam Harry lemah.
"Kumohon bantulah aku, aku akan mentraktirmu sebulan jika berhasil," mohonnya dengan wajah memelas. Cara tersenyum licik dan Harry langsung menyadari apa arti senyuman itu.
"Deal," tukas Cara.
Harry menghembuskan nafas berat, Cara pasti akan membuat uang sakunya habis tapi ia tidak menyesal, demi Kendall.
***
Setelah meninggalkan notes di rumah agar kakaknya tidak bingung saat tidak menemukam dirinya di rumah, Kendall akhirnya memberanikan diri keluar rumah menggunakan taksi. Sebelumnya dia telah mencari referensi cafe yang rencananya akan dia kunjungi supaya tidak terlihat bodoh jika ditanya sopir. 90's, itu nama cafe yang akan dia kujungi dan ternyata hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk tiba di tempat tersebut.
Terdengar bunyi denting bersamaan Kendall membuka pintu. Begitu ia memasuki cafe tersebut dia langsung disuguhi lagu Evergreen yang populer ditahun 90. Kendall kagum dengan nuansa retro di dalamnya. Buru-buru dia memilih meja paling pojok. Begitu dia mendaratkan pantatnya di kursi sudah ada pelayan menghampirinya.
Mengamati sejenak daftar menu yang diberikan pelayan tadi yang kebanyakan menunya menu junk food tapi tidak masalah, Kendall suka makanan junk food. Akhirnya dia memesan small burger, milk shake strawberry dan tak lupa kentang goreng ukuran sedang yang menjadi makanan favoritnya sepanjang masa. Begitu pelayan pergi, Kendall langsung mengamati isi cafe itu dalam hati dia berjanji akan sering ke sini dan akan menjadikan tempat ini tempat favoritnya, selain karena suasana yang nyaman, cafe ini tidak begitu penuh. Tentu saja karena hanya orang-orang tertentu yang mau menghabiskan waktu ditempat seperti ini yang mungkin bagi kebanyakan anak muda pastilah bukan tempat nongkrong yang keren.
Disela mengamati sekeliling matanya tak sengaja menangkap pengunjung di barisan yang sama dengannya hanya berjarak 2 meja. Mata Kendall tak lepas dari pengunjung yang begitu familiar. Ariana, teman sekolahnya karena posisinya menghadap ke arahnya Kendall bisa dengan jelas mengamati gadis yang tengah fokus pada buku yang dibacanya.
Tapi yang membuat Kendall agak bingung karena penampilan Ariana yang jauh berbeda dengan saat ia lihat di sekolah, tidak ada rambut yang dikucir kuda juga tidak ada kaca mata tebal yang bertengger di hidungnya namun wajahnya benar-benar sama. Kendall ingin menyapa memastikan bahwa dia tidak salah orang namun dia ragu bagaimana jika itu bukan Ariana. Lama dia bergumul dengan pikirannya sendiri hingga tiba-tiba wajah gadis yang ia tatap terangkat. Tatapan mereka bertemu, sama seperti Kendall gadis itu juga menampakkan keterkejutannya namun tidak lama karena gadis itu segera tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Kendall?"
Kendall kembali terkejut, benar dugaannya. Dia adalah Ariana. Dilihatnya gadis itu bangkit membereskan barangnya lalu menghampiri Kendall.
"Kau sendiri?" tanyanya. Ariana menampakkan wajah yang ceria berbeda sekali ketika di sekolah yang tampak begitu kaku.
"Boleh bergabung, aku juga sendiri,"ucapnya saat Kendall memberi jawaban dengan anggukan kepala dan lagi Kendall memberikan jawaban yang sama.
Ariana terkekeh melihat raut wajah Kendall yang masih terlihat bingung.
"Bingung karena aku terlihat berbeda?" tebaknya.
"Iya," jujurnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Ini diriku yang asli," jelasnya.
"Kenapa?" tanya Kendall.
"Pengalaman di JHS sehingga aku memutuskan berpenampilan seperti nerd di sekolah."
Kendall mengerutkan keningnya membuat Ariana tersenyum dan Kendall baru menyadari Ariana menjadi jauh lebih cantik ketika tersenyum, entah karena lesung pipitnya atau karena senyumnya terasa tulus.
"Dulu aku memiliki banyak teman tapi hanya beberapa saja yang benar-benar menganggapku teman selain karena ingin memanfaatkanku."
"Tapi bukankah menjadi nerd membuatmu memiliki masalah." Kendall menimpali.
"Memang tapi aku menikmatinya."
Jawaban Ariana sukses membuat Kendall tercengang, bagaimana bisa dia menikmati menjadi seseorang yang dibully, dirinya saja berusaha menghindarinya dan anak ini malah menikmatinya, sangat aneh.
Ariana tergelak melihat mimik wajah Kendall, dia mengerti betul apa yang dipikirkan Kendall.
"Waktu akan terus berjalan Kenny. Hidup adalah medan permainan, biarkan musuh menunjukkan kehebatannya sementara kita mendeteksi kelemahannya setelah itu pukul mundur musuh dengan telak."
Whoaa. Lagi-lagi Kendall dibuat tercengang dengan ucapan Ariana.
"Apa itu artinya kau akan membalas mereka?" tanya Kendall hati-hati.
"Setelah lulus itulah permainan yang sesungguhnya, kau akan jadi apa itulah penentu pemenangnya. Kita tidak pernah tahu saat lulus nanti aku menjadi CEO dan mereka yang membullyku menjadi bawahanku, misalnya."
Kendall langsung bernafas lega mendengar penjelasan Ariana barusan karena dalam benaknya Ariana akan menjadi spicopat untuk membalas dendam orang-orang yang pernah membullynya, ternyata dia terlalu berlebihan.
Permbicaraan mereka terhenti sejenak oleh pelayan yang mengantar pesanan Kendall.
"Kau mau, aku tidak keberatan berbagi." Kendall menwarkan kentang goreng miliknya ketika pelayan sudah pergi.
"Terima kasih." Ariana mengangguk retoris.
"Bagaimana kau bisa menghadapi semuanya, bully, sementara aku.."
"Aku tidak takut dan kau takut," potong Ariana.
"Ba..bagaimana kau bisa tahu?"
Ariana terkekeh lagi, "kelebihan seorang nerd adalah dia menjadi pengamat yang baik sehingga dia bisa tahu segala hal," bisiknya pada Kendall.
***
"Dia menjadi pasien ibumu."
"Hah?"
"Kendall menjadi pasien ibumu, aku menemukan tas obat miliknya dan saat kuperiksa ada kartu nama aunthy Anne," jelas Cara.
"Dia sakit?"
"Bukan itu pointnya Harry." Cara berdecak karena sahabatnya ini tak paham maksud pembicaraannya sementara Harry hanya menaikan sebelah alisnya, rupanya dia benar-benar tidak paham.
"Tanyakan pada ibumu apakah mereka ada pertemuan lagi dan kau bisa mulai dari sana dengan alibi pertemuan yang tidak sengaja," jelas Cara.
Harry terdiam sejenak lalu seulas senyum muncul dikedua sudut bibirnya namun tidak lama karena mimik wajahnya kembali muram.
"Bagaimana kalau tidak ada pertemuan lagi?" tanyanya.
"Kau bahkan belum bertanya." Cara mendengus.
"Kita harus memiliki rencana B jika rencana A gagal," kilah Harry.
"Aku akan membuatkanmu rencana A sampai Z," ketus Cara membuat Harry terkekeh.
"Kau yang terbaik," pujinya.
"Hanya saat aku mau membantumu," cibir Cara.
***