Seperti yang sudah gadis itu katakan, tetap saja laki-laki di sampingnya ini terus bertanya ketika petang mulai menyerbu.
Mata binar menjadikan petang itu terasa biasa saja. "Sebentar lagi dunia akan berakhir, dan matilah semua manusia. Iya, 'kan?"
Mau gadis itu menjawab, "iya." atau pun, "tidak." Tetaplah terus tanya konyol itu mengganggu pendengarannya. Namun, untuk kesekian kali, ada satu jawaban yang berhasil membuat laki-laki di sampingnya berhenti sejenak.
"Salah yang ada benarnya," kata gadis tersebut.
"Dunia ini sudah semakin tua, semakin ringkih dihantam dosa-dosa cucu cicit anak hawa. Akan tetapi, tahukah engkau wahai bujang?"
Laki-laki itu terdiam, tanda ia harus mengerti sampai tuntas.
Gadis itu temaram. "Kita kekal, waktu yang binasa. Ada saatnya ketika waktu yang kita rasakan sekarang lenyap, musnah, hilang, tandas tanpa ada sisa. Kita tak perlu menunggu lama untuk merasakan waktu baru yang lebih kejam dan menyedihkan. Kita diciptakan untuk abadi, diciptakan untuk mengabdi, dan diciptakan untuk kembali; menanggung semua apa yang telah kita kerjakan di waktu-waktu sebelumnya."
Tampak laki-laki itu menggumam, "Aku ... abadi?"
"Sudah jelas? Baiklah, sekarang sudah waktunya untuk pamit. Sampai jumpa."
Laki-laki itu memandang punggung gadis yang perlahan pergi ditiup angin sang senja. Bahkan angin tak bisa berbohong kalau ia iri kepada ciptaan Tuhan yang sedang bergelayut memikirkan jawaban di bawah tirai-tirai jingga.
[gambar: unsplash bebas komersial]
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Kedok Tanpa Paras
Cerita PendekKetika ibu terbangun dari tidurnya, lekas-lekas ayah mencabut beberapa bulu ayam dan meletakkannya di samping tempat ibu berbaring. Sebab, menurut ayah, bulu ayam yang menemani ibu mengerjap mata dan menguap lebar akan membuat jantungnya berdetak no...