Aku sibuk menata perlengkapan untuk praktek biologi diatas meja sambil berusaha menghindari pertanyaan konyol dari Alvin yang sibuk mengorek informasi tentang blindspot ku.
"Ck-" aku mendecak kesal dan menatap nya tajam.
Dia menunjukkan cengiran bodohnya.
"APA?" sewotku.
"Gue mau tanya nih, lo tau gak isi pikiran si Dela, dia sekarang lagi mikirin apa?" Tanyanya penuh harap.
"Eh dolpin! Asal lo tau aja, gue gak baca pikiran orang dengan sembarangan ya pin, lagian ya, kalo lo mau deketin cewek, usaha lah! Jangan gini!" Ucapku kesal.
"Ya kan ini gue lagi usaha" jawabnya tak mau kalah.
"Usaha apaan?"
"Usaha minta bantuan lu!"
Tak
Aku kesal dan memukul kepala nya dengan gulungan kertas praktikum.
"Woy sakit!" Dia memegang kepala nya dan memasang tampang yang seolah-olah kesakitan.
"Lebay!"
Dengan langkah yang dihentakkan aku pergi meninggalkan nya.
***
Seharian ini Alvin merecokiku dengan rasa ingin tahunya, aku jadi sedikit menyesal telah memberitahunya tentang kemampuanku.
Oh tuhan, rasanya aku ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki busuk bang Arif.
"REISA!" seruku melihat Reisa sedang berjalan sambil menunduk diujung koridor.
Aku berlari menujunya yang hanya membalas panggilanku dengan senyuman tipis. Sebenarnya aku sengaja memanggil Reisa supaya Alvin berhenti mengoceh.
Dan benar, usahaku berhasil. Alvin berhenti mengoceh dan berbalik arah. Dia memilih untuk membeli air karena tenggorokannya kering akibat banyak bicara.
"Kenapa Va?" aku kaget denger suara Reisa, karena sibuk liatin kepergian Alvin. Reisa menatapku penasaran.
"Lo ada masalah apa sama Alvin? Kok ngehindar gitu?" tanyanya penasaran.
Aku menggeleng "Enggak Rei, dia tu baru tau kalo gue bisa baca pikiran orang. Makanya dia ngikutingue terus, nanya-nanya mulu. Pusing gue" jelasku.
Reisa terkekeh kecil mendengar penuturanku.
"Oh iya Va!" Reisa menatapku penuh harap. Aku sudah tau duluan apa yang ingin dia sampaikan. Namun, aku memilih diam. Aku tau Reisa cepat atau lambat pasti mengatakannya.
"Boleh gue minta tolong? Untuk-" Reisa terlihat berpikir sejenak. Menimbang-nimbang apakah tepat meminta tolong padaku atau tidak.
Aku menarik tangannya kegenggamanku, mencoba menguatkan, "Sa, gapapa. Kalau belum yakin, coba pikir-pikir lagi"
"Gue tau lo sebenarnya udah tau apa yang gue maksud. Tapi gue ragu" Reisa menundukkan pandangannya.
"Gue akan nunggu sampai lo udah yakin, kasih tau gue. Gue siap kok bantuin lo"
Reisa menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Ini pasti berat bagi dia, jika prasangkanya terhadap orangtua biologisnya itu benar. Dia pasti akan merasakan kekecewaan yang mendalam.
***
Hari sudah menunjukkan pukul 17.55 WIB, aku masih berada dilingkungan sekolah karena disibukkan dengan tugas kelompok yang sudah mendekati deadline.
Aku, Clara, Tika, dan Roni yang tergabung dalam satu kelompok ini masih saling berdiskusi tentang yel-yel apa yang harus kami pakai besok.
Ya, kami masih sibuk berdebat perkara yel-yel bukan materi. karena materi yang kami kerjakan sudah rampung daritadi. kebetulan kelas biologi memang seunik ini, bahwa kelompok yang tampil harus menyiapkan satu yel-yel yang akan diserukan ketika tampil.
Tika dan Roni yang paling keras mengusulkan pendapatnya.
"Bisa kita lanjut di grup aja, gak? udah terlalu sore ini. Nanti gaada angkutan umum lagi yang lewat" keluh clara yang sedari tadi sudah misuh-misuh dipikirannya.
Aku mengangguk menyetujui.
"Okedeh, di grup aja. Entar kirim pake vn aja!" usul Tika.
Aku mengangguk lagi, malas menyahuti. Tenagaku habis.
Setelah beres memasuki semua buku ke tas. Aku pamit kepada mereka terlebih dulu. Ingin cepat-cepat rebahan.
Sesampai di halte, aku berdiri sekitar 10 menit barulah bus datang, karena sudah sore tidak perlu lagi berdesak-desakan.
Aku duduk di bangku panjang paling belakang yang diujung satunya diisi oleh pria yang memakai hoodie hitam.
Pria itu menoleh padaku. Mata kami bertemu.
Aku mengernyitkan kening. Ada apa dengannya? Kenapa aku tidak bisa membaca pikirannya?
Aku memutuskan kontak mata kami. Memilih memandang jendela, jujur sebenarnya aku takut.
Aku merasa dia masih mengawasiku. Setelah kulirik dengan ekor mataku, ternyata benar dia masih mengawasiku.
Ya tuhan! Kenapa di situasi genting seperti ini aku malah tidak bisa membaca pikiran orang?
Aku benar-benar panik dan turun di halte yang masih jauh dari apartemenku.
Gila! Pria itu ikut turun!
Aku mempercepat langkahku dan mencoba menghubungi Bang Arif. Sementara Pria itu mengikuti langkahku.
Tidak diangkat.
Aku memilih masuk kesebuah minimarket di simpang jalan. Untungnya pria itu tidak ikut masuk.
Drrrt
Ponsel digenggamanku bergetar.
"Bang! Tolong!" pekikku dengan suara yang gemetar.
"Dek? Kenapa? Kamu dimana?" panik bang Arif.
"Minimarket dekat taman, ada orang aneh bang, cepet kesini" jelasku berusaha tidak panik lagi.
"Oke jangan kemana-mana, disitu aja"
Sambungan pun terputus, aku mengintip keluar melalui etalase kaca tersebut.
Orang tadi benar-benar tidak terlihat lagi, tapi aku tidak berani beranjak keluar.
Tuk
Aku terlonjak kaget ketika pundakku ditepuk seseorang.
"Ri? Are you okay?"
Aku menatap ke orang itu. Ternyata Alvin, memakai hoodie hitam, persis pria tadi. Membuatku kaget saja.
"ASTAGA ALVIN! KAGET TAUGA!" kesalku.
"Lebay lu. Ngapain ngintip-ngintip gitu?" tanyanya kemudian.
"Gapapa!" jawabku seadanya terus jalan kearah minuman dingin, sekarang karena ada Alvin aku rasa gaperlu sembunyi lagi.
Alvin masih ngikutin aku dari belakang sambil bertanya-tanya curiga dengan sikapku barusan.
"Nih!" Aku ngasih minuman cola ke dia.
"Hehe, guna juga kemampuan lu, ya. Jadi gua gaperlu banyak ngomong" cengirnya
"Halah! ada atau enggaknya kemampuan gua, lu tetap banyak omong di mulut atau pikiran" omel gua kesal.
Iya gitu, Alvin tuh banyak banget yang dipikirin.
"Kok belum pulang?" tanyanya kemudian ketika kami sudah duduk di tempat duduk depan minimarket tersebut.
"Karena belum sampe" jawabku asal.
"Hah?" bingungnya.
"Riva!"
Itu dia bang Arif datang.
"Kamu gapapa kan, dek?" dia langsung ngecek keadaan gua.
"Gapapa bang, untung tadi ada Alvin" kataku seraya menoleh kearah Alvin yang menatap kami bingung.
"Alvin? Loh kok bisa ada Alvin?" tanya bang Arif, aku mengerutkan kening
Iya juga ya, kok bisa Alvin sampe sini, rumah diakan jauh dari apart gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Spot [Discontinued]
Teen FictionBisa membaca pikiran orang lain membuatnya di juluki dukun,cenayang, dan berbagai julukan aneh lainnya. Hal itu membuatnya sulit mencari teman karena takut dimanfaatkan oleh orang sekitarnya dan juga trauma terhadap masalalunya. Namun ada seseorang...