Prolog

158 11 4
                                    

Menyebalkan, itulah kesan pertama Theo terhadap para mahasiswa baru itu. Suasana hatinya sedang buruk. Membuatnya tidak bersemangat untuk mengajar.

Tak ada yang terlihat seperti bibit unggul, pikirnya saat menengok ke arah deretan mahasiswa yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Berusaha untuk mengabaikan mereka, kedua tangannya yang lincah memainkan Nocturne, Op. posth in C-Sharp Minor milik Chopin. Tak peduli banyaknya pasangan mata yang mulai memperhatikannya, Theo bermain dengan penuh penghayatan. Lagu itu spesial. Membuat hatinya terasa tenang dan damai.

Sesekali, dia mendengar bisikan dari para mahasiswanya.

"Itu Theodore James!"

"Theodore sang prodigy itu maksudmu?"

"Kabarnya, dia bisa memainkan semua Nocturne komposisi Chopin pada umur empat tahun!"

Ya, dia memang menguasai semua Nocturne. Tetapi di umur lima tahun, bukan empat. Dan tidak, dia bukan seorang prodigy piano yang dikatakan banyak orang—seseorang yang bisa memainkan piano dengan luar biasa di usia yang sangat muda. Dia hanyalah pria biasa, Theo—bukan siapa-siapa. Dia hanyalah seorang mahasiswa semester lima di St. Amadeus, penanggung jawab orkestra kampus, serta asisten dosen. Hanya itu; dia bukan siapa-siapa.

Sambil tetap bermain, Theo melirik jam tangannya. Pukul delapan tepat. Seperempat jam lagi, kelas akan dimulai dan auditorium sudah hampir penuh terisi. Tidak buruk juga, batinnya—memuji kedisiplinan para mahasiswa.

Theo mengulang lagunya sekali lagi sambil tetap mengabaikan kasak-kusuk mahasiswa yang semakin lama terdengar semakin keras. Melihat jarum panjang sudah mendekati angka lima, dia memutuskan untuk mengakhiri permainan pianonya.

Setelah bangkit berdiri dan bersandar di samping piano dengan tangan terlipat di dada, Theo menghadap ke arah murid-muridnya. Bibir penuhnya terkatup rapat, menambah ketegasan pada air mukanya. "Selamat pagi."

"Selamat pagi, Sir," jawaban para mahasiswa terdengar keras dan lirih.

"Namaku Theodore James. Selamat datang di kelas sejarah musik," matanya memandang ke sekeliling ruangan. "Perlu kalian ketahui bahwa aku bukan dosen kalian. Aku hanya menggantikan profesor kalian, Auron Black, karena dia ada keperluan lain."

Penjelasan Theo terhenti oleh pintu auditorium yang terbanting terbuka, membuat semua orang spontan menoleh ke belakang. Seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut pirang menatap lurus ke depan dengan napas tersengal. Wajahnya yang putih seperti boneka porselen penuh dengan keringat. Pada bahu kirinya tergantung tas selempang berwarna merah jambu, sementara tangan kanannya menggenggam kotak biola berwarna hitam.

"Cepat masuk!" perintah Theo dingin. "Terlambat di hari pertama, sungguh memalukan."

Wajah gadis itu memerah. "Maaf, Sir."

"Siapa namamu?" tanya Theo dengan geram. Dia benci orang yang tidak disiplin.

"Lucille Benoit, Sir," jawab Lucille, nadanya bergetar.

"Temui aku setelah kelas selesai, Miss Benoit," Theo menatap Lucille tajam, seolah ingin memastikan agar dia mengerti apa yang baru saja dikatakannya. "Duduk!"

Lucille duduk, napasnya masih memburu dan wajahnya merah padam. Setengah karena maraton pagi yang baru saja dilakukannya—dan ternyata sia-sia karena masih tetap terlambat—dan setengah lagi karena malu.

Laki-laki di sampingnya menyeringai dan mengulurkan tangannya. "Pagi yang berat, ya? Namaku Seth Williams."

"Aku akan baik-baik saja," Lucille balas menyeringai dan menjabat tangan Seth. "Kau bisa memanggilku Lucy."

"Dia," bisik Seth, menunjuk ke arah Theo yang mulai menjelaskan materi. "Apa kau tahu siapa dia?"

"Dosen tampan paling kejam di kampus ini?" tebak Lucy sambil terkikik pelan.

Seth menggeleng geli. "Bukan, dia bukan dosen. Dia adalah Theodore James! Siapa sangka dia segalak itu?"

Lucy melongo bingung menatap Seth yang bersemangat. "Memangnya kenapa? Um, maksudku... Memangnya dia siapa?"

"Aduh," Seth menepuk dahinya. "Theodore Frederich James, sang prodigy piano itu! Masa kau tidak tahu?"

Lucy menggeleng pelan.

"Menurut apa yang kubaca, Mr. James adalah seorang pianis yang luar biasa. Sejak dia masih bayi, ibunya yang seorang guru piano sering memainkan piano untuknya. Lalu, saat dia berumur dua tahun, ibunya mulai mengajarinya piano. Ternyata, Mr. James belajar dengan cepat. Tchaikovsky, Mozart, Beethoven, Bach—sebutkan saja; dia pasti akan bisa memainkannya. Dia adalah titisan dewa!" jelas Seth.

"Tidak ada yang namanya titisan dewa," kilah Lucy skeptis.

"Jelas ada," Seth mengarahkan pandangannya ke arah Theo. "Tidak ada orang yang bisa memainkan semua Nocturne Chopin dengan tepat pada umur empat tahun selain titisan dewa, Lucy."

Lucy tidak menjawab, pandangannya membeku pada sepasang mata yang kembali menatapnya dengan tajam dari panggung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ProdigyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang