Niall menyetir mobilnya dengan degupan jantung yang tidak karuan. Bahkan laki-laki itu berapa kali menerobos lampu merah, tanpa perduli dengan banyaknya klakson yang sengaja dibunyikan untuknya. Tujuan laki-laki itu hanya satu. Begitupun nama yang terus menerus ia bisikkan dalam hati.
Megan.
Maka Niall tidak perduli apa-apa lagi. Tidak dengan nyawanya, apalagi penolakan gadis itu, nanti, yang sudah ia ekspektasikan selama perjalanan menuju rumahnya. Persetan, ia tidak meminta, tapi memutuskan. Ia tidak meminta Megan untuk menerimanya, tapi ia memutuskan itu. Karena ia pun lelah dengan semua ini.
Lalu untuk Clara, Niall benar-benar berterimakasih padanya atas segala dukungan yang telah ia beri. Meski laki-laki itu tahu jika Clara akan sakit tentang ini, namun memiliki Niall tanpa memiliki hatinya akan membuat gadis itu lebih sakit. Niall tahu itu.
Oleh karenanya laki-laki itu segera keluar dari mobil dan menyambar bel rumah Megan ketika dirinya sampai di sana. Rumah gadis itu nampak sepi, tapi ia tidak perduli. Niall rela menunggu untuk ini.
"Megan?" panggilnya. Laki-laki itu bahkan mengetuk pintu mengetahui Megan tak kunjung membuka pintunya meski bel sudah ditekan berkali-kali.
"Megan aku tahu kau disana." ucap laki-laki itu lagi. Kian melirih.
Megan sendiri sudah berniat membukakan pintunya, tadi. Tidak ada siapa-siapa di rumah sejak kemarin, dan ia cukup bersemangat ketika tahu ada yang bertamu. Setidaknya ia memiliki teman berbincang. Namun saat ia menyadari suara siapa itu, mendadak Megan menghentikan langkah.
"Kumohon, Meg. Beri aku satu kesempatan untuk membuatmu menerimaku."
Gadis itu menghela napas. Lagi-lagi topik ini. Ia sedang tidak ingin berdebat apalagi membicarakannya. Lagi pula ada apa dengan Niall? Bukannya ia sudah sepakat untuk tidak meneruskan ini dengannya?
"Clara menolakku, Meg."
Megan baru saja hendak berbalik untuk kembali ke dalam kamar. Menyumpal telinga dengan musik keras-keras saat Niall mengatakan satu kalimat itu. Sebuah kalimat yang membuatnya membatu.
"Kumohon, Meg, jangan bohongi dirimu sendiri lagi. Dan mari berjuang bersama-sama."
Megan ingin membuka pintu itu, sangat. Lalu mendengar segala hal yang ingin ia dengar. Namun ia terlalu takut untuk itu. Ia terlalu takut untuk jatuh lagi pada kubangan yang sama ketika ia melihat wajah laki-laki itu lagi. Kemudian merasa sebagai seorang pendosa yang paling buruk di muka bumi karena menghianati sahabat sendiri.
"Meg," panggil Niall, lembut. "Setidaknya beri aku satu kesempatan."
Gadis itu ragu. Kedua tangannya sudah memegang kunci untuk diputar ke kiri sebanyak dua kali sebelum membiarkan pintu itu terbuka lebar. Namun tidak, ia harus meneguhkan pertahanannya.
"Pergilah Niall, aku tidak ingin melihatmu."
Mulut Niall bungkam. Mendadak, bibir itu mengatup pilu mendengar penuturan seseorang yang paling ia inginkan sepanjang hidupnya. Namun tidak, ia tidak akan membiarkan Megan membohongi dirinya lagi kali ini.
"Buka pintunya." kata laki-laki itu, tegas. Membuat Megan menggeleng di tempatnya meski ia tahu kalau Niall tidak akan bisa melihatnya.
"Buka pintunya dan katakan langsung di hadapanku bahwa kau tidak menginginkanku." lanjutnya, membuat Megan mengatupkan bibir. Tenggorokkan gadis itu mendadak kering. "Lalu aku akan pergi. Aku janji."
Megan menelan salivanya dengan berat. Sebenarnya itu bukan hal sulit, bukan? Tinggal membuka pintunya lalu mengatakan dengan gamblang bahwa ia tidak menginginkannya. Mudah, kan? Sayangnya itu akan lebih mudah kalau Megan memang tidak menginginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper of You // N.H
Fanfiction"The sunset is beautiful, isn't?" *** Copyright © by Annisa Nanda