💣 limabelas

3.6K 579 120
                                    

_oo0oo_

Walaupun aku sudah melarangnya tapi Ali tetap saja ngotot menjemputku. Sejak kejadian malam itu, dua hari ini aku berangkat dan pulang bareng Ali. Bagaimana reaksi anak-anak disekolah?

Mereka semua bergosip ria. Apalagi Syila, dia benar-benar tak terima melihat aku dan Ali semakin akrab. Tapi Ali tidak membiarkanku sendirian. Ke mushola, ke kantin dan kemanapun aku pergi, Ali selalu berada disampingku.

"Gue nggak mau Syila berbuat nekat aja. Gue kenal banget sama dia!" jelas Ali saat aku protes akan sikapnya yang begitu posesif.

"Tapi gue nggak enak sama lo,Li. Gue nggak mau ngerepotin lo!"

"Tenang aja, gue ikhlas kok!" telapak tangannya mengusap ujung kepalaku pelan.

Rasanya begitu nyaman dan aman berada didekat Ali. Dulu, saat bersama Ikbal aku juga merasakan ini tapi ternyata Ikbal adalah ancaman bagiku.

Semoga Ali tidak seperti Ikbal.

_oo0oo_

Hari Minggu jam 8 pagi. Suasana rumahku sedikit ramai. Dua keluarga berkumpul dan ada penghulu di tengah-tengah kami juga seorang wali hakim yang akan menikahkanku.

Ali tampak tampan dengan koko putihnya dan sebuah peci dengan warna senada menutupi setengah kepalanya. Sementara aku memilih memakai kaftan putih dengan hijab warna sama, niqabku tentu tidak ketinggalan.

Acara ijab qobul ini sangat sederhana dan tertutup. Tak ada warga sekitar ataupun teman kerja Papa yang hadir.

"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi. Wallahu Waliyut Taufiq."

"Sah?"

"Sah!!!"

"Alhamdulillah!"

Sebuah cincin melingkar dijari manisku setelah itu Ali mengulurkan tangannya dan langsung kusambut. Mencium punggung tangannya lalu dibalas dengan kecupan lembut dikeningku.

Inikah akhir dari kesedihanku?

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Buliran bening itu menetes begitu saja tanpa bisa aku cegah. Aku menangis terharu dipelukan Papa.

"Selamat ya, Sayang. Semoga kamu bahagia selalu!" ucap beliau sambil mengusap lembut punggungku.

Aku mengangguk dalam pelukannya dan terus mengucap syukur dalam hati. Ya Rabb, jadikan ini akhir dari laraku dan awal dari kebahagiaanku.

_oo0oo_

Papa memutuskan aku dan Ali akan tinggal dirumah ini. Papa punya beberapa alasan dan salah satunya adalah keselamatanku. Bukannya Papa tidak mempercayai Ali, tapi Papa masih belum bisa sepenuhnya melepasku. Bisa saja ancaman datang dan kembali mengancan nyawaku.

Aku dan Ali masuk kedalam kamar. Kami diperbolehkan tidur sekamar tapi Papa dan Budhe Ninik berpesan agar Ali bisa 'menjagaku'.

Aku tau apa maksud dari kata itu. Selama belum lulus sekolah, Ali tidak boleh melakukan hal itu. Sekedar berpelukan dan berciuman itu sudah cukup.

Ali sempat frustasi mendengar larangan-larangan dari Budhe Ninik. Aku tersenyum geli melihat ekspresi lucu Ali.

"Kok ketawa, sih?" gerutu Ali saat melihatku yang tengah tertawa pelan. Aku hanya menggeleng dan mencoba meredakan tawaku. Aku duduk ditepi tempat tidur saat Ali perlahan menghampiriku dan duduk disebelahku. "Boleh minta satu permintaan nggak?" tanyanya ragu.

"Apa, Li?" sahutku cepat.

"Saat hanya ada aku dan kamu, bisa kan kamu lepas niqab ini?"

Mataku langsung menatap bolamatanya. Aku melupakan satu hal. Ali adalah muhrimku, dia berhak melihat wajahku. Aku menunduk pelan.

I'm Not TerorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang