💣 tujuh

3.2K 515 134
                                    

_oo0oo_

Aku benar-benar panik dan berlari menyusuri koridor kelas. Aku tau kunci apa yang aku pegang saat ini. Kunci gudang.

Apa mungkin Ikbal ada disana?

Langkahku terhenti tepat didepan sebuah gudang dengan pintu yang tertutup rapat. Kakiku sedikit bergetar menghampiri pintu kayu coklat itu.

"Bal! Ikbal!" panggilku pelan. Aku menempelkan telingaku pada pintu itu. Tapi tak ada suara apapun. "Bal, kamu ada didalam?" panggilku lagi.

Tubuhku berjengkit kaget saat aku mendengar suara benda seperti diseret.

"Bal, itu kamu?" tanyaku panik.

"Pril----li!" panggilnya lirih.

Aku dengan gerakan cepat langsung membuka pintu itu dengan kunci yang aku pegang. Saat pintu berhasil aku buka, mataku menatap tubuh Ikbal yang sedang tergeletak dilantai penuh debu itu. Ia menelungkup.

Aku langsung berlari menghampirinya dan mencoba membalik tubuhnya. Tangisku seketika pecah saat melihat beberapa luka ada di wajah mulus Ikbal. Hidung dan mulutnya sedikit berdarah.

"Bal, kenapa bisa kayak gini?" lirihku.

Ikbal tak menjawab dan tangannya terulur menyentuh pipiku. "Ja---ngan nang---ngis! Uhuk! Uhuk!"

Aku menggeleng kuat dan mencoba membantunya berdiri. Keluar dari gudang dengan langkah tertatih, aku terus berusaha menopang tubuh Ikbal agar tidak jatuh.

Langkah kami sampai diparkiran sekolah. Ikbal melarangku untuk melaporkan kejadian ini pada pihak sekolah. Ia tak ingin masalah ini semakin berlarut. Lagipula ia tidak mungkin bisa menghadapi Bayu yang berkuasa disekolah ini.

Aku mendudukkan Ikbal dijok penumpang sementara aku mengambil alih menyetir mobil.

"Kamu bisa?" tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk. Papa pernah mengajariku mengendarai mobil. Hanya beberapa kali dan aku harap aku bisa membawa Ikbal pulang dengan selamat.

_oo0oo_

Kedua kalinya aku menginjakkan kaki dirumah ini. Rumah dengan gaya Belanda. Aku kembali menopang tubuh Ikbal yang tinggi.

Begitu masuk ke dalam rumah, Ikbal langsung jatuh dikursi ruang tamu.

"Aku ambilin kompres ya!"

Ikbal hanya mengangguk. Aku sedikit ragu masuk kedalam. Suasana rumah sepi. Kemana perginya Abah?

"Abah?" panggilku pelan sambil menyapukan pandanganku. Tak ada tanda-tanda kehidupan disini. Mengabaikan hal itu, aku langsung mengambil baskom dan kain. Aku isi dengan air hangat dan kembali keruang tamu.

Disana Ikbal sedang duduk sambil meringis, meraba tulang hidungnya. Aku duduk disebelahnya.

"Jangan dipegang, nanti kena kuman. Tangan kamu kotor, sini aku bersihin!"

Ikbal menurut dan membiarkanku membersihkan semua lukanya. Sesekali ia merintih saat kain basah ini menempel dilukanya yang terbuka.

"Maaf!" ucapku lirih.

Mata Ikbal terbuka dan ia menarik punggungnya dari sandaran kursi. "Untuk apa?"

"Karena aku kamu jadi kayak gini!" sahutku. Ikbal diam sambil menatapku. "Emang seharusnya kamu jauhin aku!"

Kepala Ikbal menggeleng lalu tersenyum kearahku. "Aku nggak akan menarik kata-kataku. Aku nggak peduli mereka membencimu!"

"Tapi, Bal---"

I'm Not TerorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang