💣 tiga

3.4K 526 35
                                    

_oo0oo_

Esok harinya aku berusaha baik-baik saja. Kemarin saat pulang sekolah, aku langsung  masuk kedalam kamar dan tidak keluar sampai Papa pulang kerja. Untungnya Papa dinas sampai malam jadi beliau tidak tau keadaanku yang terlihat menyedihkan. Dan semoga saja Pak Iwan tidak memberitahu Papa soal kejadian kemarin.

Seperti biasanya, aku menyempatkan shalat Dhuha saat ada waktu senggang. Jam pelajaran pertama guru malah tidak datang dan meninggalkan beberapa tugas. Setelah selesai dengan tugasku, aku memilih ke Mushola. Itu lebih baik daripada menggosip ria didalam kelas.

Setelah mengambil wudlu, aku merapikan hijabku dan melangkah masuk ke dalam Mushola. Mengerjakan shalat Dhuha 2 rakaat. Sebagai manusia aku wajib bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.

Setelah selesai, aku melipat mukena dan sajadahku. Merapikan hijabku sebelum meninggalkan mushola.

"Aawww!!" pekikku saat bahu kananku ditabrak oleh seseorang saat baru saja aku keluar dari Mushola. Aku menatap sebentar wajahnya dan menunduk lagi.

"Maaf!" seru kami bersamaan.

Cowok itu malah terkekeh pelan sambil merapikan rambut depannya yang sedikit gondrong, menutupi keningnya. Aku mengangguk dan tersenyum kikuk. Mencoba mengabaikan keberadaannya dengan meninggalkan area mushola.

"Tunggu!" cegahnya saat aku selesai memasang kedua sepatuku. Aku menoleh kearahnya tanpa menyahut ucapannya. "Nama gue Ikbal!"

Aku sempat tertegun saat dia menyebutkan namanya. Dalam beberapa detik aku menatap wajahnya. Nama yang sama tapi rupa yang beda. Aku jadi teringat salah satu kakakku yang ikut tewas dalam tragedi itu.

"Nama lo siapa?" tanyanya lagi. Aku menatap uluran tangannya. Haruskah aku menjabatnya tangannya?

Aku beralih menatap wajahnya. Sepertinya aku tidak perlu menyentuhnya. "Prili. Panggil aja Prili!" jelasku tanpa menerima uluran tangannya.

Cowok bernama Ikbal itu tersenyum dan menarik uluran tangannya. "Gue anak baru kelas IPS. Lo kelas apa?" tanya Ikbal sok akrab.

"IPA!" jawabku singkat.

"Wow. Jenius. Biasanya anak IPA gitu, hehehehe!"

"Gue balik dulu!" pamitku. Aku rasa pembicaraan ini harus segera diakhiri karena aku takut. Selama ini tak ada yang mengajakku ngobrol sedekat ini. Aku selalu waspada terhadap semua orang yang berada didekatku, walaupun sebenarnya kebanyakan mereka yang selalu waspada jika berada didekatku.

Ya. Karena aku adalah anak teroris.

"Istirahat gue tunggu disini ya buat shalat Dhuhur bareng!" teriak Ikbal dari kejauhan. Aku menoleh sebentar dan memilih pergi tanpa menyahut teriakannya.

Aku tersenyum tipis mengingat detik-detik pertemuanku dengan Ikbal. Sedikit ada rasa bahagia dalam hatiku saat mengetahui masih ada yang mau berteman denganku.

Tiba diambang pintu kelas, keadaan kelas benar-benar kacau. Ada yang menggerombol, ada yang duduk dipojokan berduaan dan ada lagi yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Dari mana, Pril?" tanya Kia saat aku melewati mejanya.

"Habis shalat, Ki. Lo gak Shalat, tumben?" tanyaku dan duduk dikursiku.

"Biasa tamu bulanan!" jawabnya enteng.

Aku mengangguk saja mendengar jawabannya. Aku merogoh laci mejaku dan mengambil buku tugasku, ingin mengecek lagi tugas yang aku kerjakan tadi.

Tapi yang aku pegang saat ini hanya buku catatanku saja, lalu dimana buku tugasku? Aku menoleh kearah Kia dan menepuk pundaknya pelan.

"Ki, lo liat buku tugas gue gak?" tanyaku pelan.

I'm Not TerorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang