prolog

11.6K 918 102
                                    

Aku hanya ingin hidup dengan damai.

Begitulah keinginanku dari dulu hingga sekarang. Aku hanya ingin seperti anak-anak yang lain. Menyelesaikan sekolah, memiliki pekerjaan dan menikah. Setelah itu diberkahi seorang atau bahkan beberapa orang anak hingga keluarga kecilku menjadi sempurna. Namun, itu hanyalah cita-cita yang egois. Sebuah mimpi yang tidak akan pernah jadi kenyataan.

Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adikku masih kecil-kecil dan tak ada yang menjaga mereka selain aku setelah ibuku pergi meninggalkan kami empat tahun lalu. Entah apa alasannya, tetapi sebelum pergi ibu berpesan, 'jaga adik-adikmu dan jangan pernah kembali ke sana!'. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang dimaksud ibuku, lebih tepatnya dimana.

Selama ibu pergi, aku menjadi pengurus untuk adik-adikku. Walau disebut mengurus, aku cenderung menyebutnya membantu mereka. Adik-adikku sudah cukup besar untuk makan, mandi atau bahkan melindungi mereka sendiri. Namun hidup itu tidak mudah atau lebih tepatnya tidak gratis.

Biaya sekolah mahal, lebih mahal dari biaya hidup kami berempat. Terpaksa, setelah lulus SMA, aku tidak pernah melanjutkan studiku. Uang tabungan yang kukumpulkan, yang seharusnya menjadi biaya masuk untuk kuliahku, kugunakan untuk biaya sekolah adik-adikku. Semuanya, hingga tidak ada yang tersisa bahkan untuk membeli sebuah permen untuk diriku sendiri.

Adikku ada tiga terdiri dari dua lelaki dan satu perempuan. Ketiganya memiliki wajah yang menawan, semuanya mewarisi wajah ibuku, mata indahnya, bibir ranumnya dan bahkan pipi tirusnya. Semuanya, kecuali aku yang lebih banyak mewarisi gen ayah termasuk rambut keriting dan bola mata runcing yang membuatku selalu dijuluki peran antagonis.

Yosi adalah adikku yang pertama. Dia seorang perempuan yang suka membaca buku-buku. Walau begitu, dia tidak pernah mendapat peringkat karena semua buku-buku yang dibacanya lebih cenderung ke buku-buku yang tidak membuatnya pintar. Well, aku tidak perlu menjelaskannya.  

Yosi adalah seorang pelajar kelas dua belas saat ini. Sejak tahun lalu, dia suka sekali pulang larut malam, membuka pintu lalu tidur sampai jam lima pagi. Ia bangun, membaca bukunya lalu berangkat ke sekolah sekitar jam enam lewat. Ia tidak pernah sarapan, hanya meneguk secangkir teh, meletakkan uang saku untuk kedua adikku yang lain lalu pergi.

Yosi akan kembali ke rumah pada malam larut yang lain. Begitu seterusnya dan aku cukup terbantu dengan kebiasaannya itu. Setidaknya, aku tidak perlu repot-repot membelikannya banyak makanan atau barang-barang. Dia sudah bisa beli sendiri walau aku tidak tahu, darimana semua itu berasal.

Adik keduaku bernama Toto, berjenis kelamin laki-laki dan sangat tampan. Dia kelas X saat ini dan terlihat sebagai cowok yang cerdas. Dia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya dan aku sangat bangga dengan itu. Walaupun dia tidak memperbolehkan aku untuk mengambil raportnya lagi sejak dia SMA, aku tidak peduli. Selama ia berprestasi, aku sudah cukup senang. Meskipun itu munafik sekali. Aku iri padanya. Sangat.

Adik ketigaku tergolong masih muda. Seperti anak-anak labil yang sedang mencari jati diri, adik lelakiku itu suka menghabiskan banyak waktunya di kamarnya, bercengkrama dengan banyak hal atau hanya imajinasinya saja. Entah, aku tidak terlalu peduli. Selama ia sehat, aku sudah merasa lega.

Soal wajah, sudah kukatakan, semua adikku rupawan. Hanya saja, untuk Heina, begitu aku menyebutnya, dia suka sekali merangkak dalam tidur. Bukan berjalan, tetapi merangkak! Namun sejak tahun lalu, dia sudah tidak melakukan itu lagi. Aku rasa, dia sudah mulai besar dan meninggalkan 'mata anak-anaknya'. Yah, mengertilah apa yang kumaksud walau tidak kukatakan dengan gamblang.

Aku hanya seorang perempuan lulusan SMA yang hanya mampu kerja serabutan untuk bisa terus hidup dan menghidupi adik-adikku. Aku tidak punya kekasih saat ini walau dulu pernah sekali aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki walau kandas setelah beberapa bulan bersama.

Kekasihku itu sangat baik, terlalu baik dari kebanyakan lelaki yang kutemui selama ini. Mungkin karena itu aku jatuh cinta padanya walau adik-adikku sepertinya tidak suka dengannya. Mereka tidak pernah mau menyambutnya jika datang dan itu membuat kekasihku sedih. Namun, aku bisa apa? Mereka adik-adikku dan aku lebih memilih putus daripada harus melawan adik-adikku yang manis.

Ah, lupa. Aku masih memiliki seorang ayah yang masih hidup tampaknya, entah aku tidak tahu kabarnya. Kami tidak pernah tinggal bersama. Ayah menghilang dari kami ketika ibu mengajakku dan ketiga adikku pergi dari rumah malam itu.

Jika kuingat lagi, mungkin kami yang meninggalkan ayah bukan ayah yang menghilang dari kami. Entahlah, ingatanku masih remang-remang tentang itu. Dan aku tidak terlalu peduli untuk menggali lebih jauh ingatan yang sudah kusingkirkan itu. Toh aku hidup dari jerih payah ibu dan juga usahaku sendiri setelah kepergian ibuku.

Hidup kami baik-baik saja tanpa ibu, tanpa ayah dan ya semua karena pengorbananku. Aku tidak sedang menyombongkan diri tapi setidaknya aku layak mendapatkan penghargaan dari adik-adikku berupa rasa hormat atau terimakasih. Sayangnya, kami tidak benar-benar menjadi keluarga.

Ada banyak rahasia dan sedikit sekali waktu yang kami habiskan bersama hingga kami tidak banyak bicara. Semua berjalan canggung hingga hari itu tiba. Hari dimana semuanya menjadi rumit dan berbeda. sepucuk surat datang ke rumah kami. Padahal, kami tidak pernah punya sanak saudara dan aku sudah menyerah untuk melamar pekerjaan sebagai pegawai kantoran.

Tercenung, kulihat amplop putih itu di meja makan. Kuamati hingga tidak terasa Heina sudah pulang dari sekolah. Dia tidak terlalu merespon diriku yang melamun di depan surat putih itu, hanya sedikit melirik lalu berbalik pergi ke kamarnya.

Aku menghela napas, bingung, antara membuka atau membiarkan saja surat itu. Aku pun mengabaikannya, lebih memilih memasak makan malam karena sore sudah menyapa. Tak lama kudengar Toto datang, ia masuk dan segera duduk di meja makan. Tidak ada percakapan di antara kami, hanya sebuah kecanggungan dan rasa sunyi yang menjepit.

Makanan sudah jadi dan aku meletakkannya di meja. Toto hanya mengambil piring, mengambil nasi dan beberapa lauk ikan asin, menuangkan sayur bayam lalu memakannya lahap.

Aku diam mengamatinya, melihatnya, mengawasinya atau apapun namanya tetapi ia tidak melakukan apapun. Makannya selesai dan ia berbalik pergi. Aku menghela napas, gagal lagi untuk bisa lebih dekat dengannya. Padahal, kupikir barusan adalah kesempatan yang bagus untuk bisa lebih dekat dengannya.

Aku mengabaikan rasa sesalku, kembali fokus pada sepucuk surat itu. Aku bukan terganggu karena sepucuk surat beramplop putih yang tipis itu. Namun lebih kepada nama pengirimnya. Disana tertulis : Mahendra dan itu adalah nama ayahku. Ayah yang bahkan wajahnya saja aku sudah tidak ingat lagi atau malas mengingatnya.

Aku biarkan surat itu hingga akhirnya suara ketukan pintu terdengar. Aku tergopoh-gopoh menuju ruang depan lalu membukakan pintu untuk Yosi, adikku. Dia hanya menatapku dingin, tidak ada rasa terimakasih atau maaf karena membangunku dari tidurku setelah seharian bekerja. Tidak ada, ia hanya masuk, berjalan ke kamarnya lalu tidur.

Saat pagi menjelang aku bangun, hendak memasak tetapi saat berada di meja ruang makan aku terperanjat kaget. Suratnya sudah menghilang, entah kemana lalu kudengar suara langkah kaki dari lantai rumah kami yang kumuh.

Aku berbalik dengan keringat dingin karena ketakutan, sesaat saja kurasakan sensasi itu karena detik berikutnya kulihat Yosi berdiri di depanku.

Yosi duduk dan menunjukkan kertas yang sudah dia buka. Dia tunjukkan surat itu padaku, padahal aku bahkan tidak berani membuka isinya. Di lembar surat itu tertulis bahwa ayahku telah meninggal dunia dan berniat mewariskan satu-satunya rumah miliknya kepada kami. Intinya, untuk mendapat rumah itu, kami harus pindah dari rumah yang kami tempati saat itu ke rumah ayahku.

Aku diam, berpikir cukup lama. Sejujurnya, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk pindah dari rumah kecil kami itu. Jika pindah, rumah kami itu bisa kujual dan aku bisa memiliki banyak uang sebagai tabungan. Sejujurnya menjadi pekerja serabutan yang tidak jelas jam kerjanya sekaligus mengurus ketiga adikku yang sangat tidak dewasa, itu melelahkan. Jadi, kupikir itu adalah ide yang bagus.

Saat itu aku memang berpikir begitu. Walau aku sangat menyesalinya sekarang.

***
TBC.

THE SATANIST ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang