Bab 1

6.2K 694 56
                                        

Mentari telah meninggi dan angin bergerak pelan membelai lembut rambut sebahuku yang bergerak-gerak karena angin. Kusibak sebagian hingga terkait di telingaku dan tidak menutupi wajahku. Bersama pick up biru yang sudah tua, bekas peninggalan ibu, akhirnya kami pindah ke rumah ayah.

Kedua tanganku memegang stir sementara pandanganku lurus ke depan sembari sesekali melihat GPS ponselku yang akan membawa kami menuju ke alamat dimana rumah yang ayah wariskan berada. Kulirik Yosi yang tertunduk ke buku yang tengah dibacanya di kursi penumpang, di sebelahnya ada Toto yang tengah memangku Heina. Keduanya tampak akrab, ceria dan aku bahagia melihat itu.

Barang-barang kami hanya sedikit, cukup sedikit hingga barang empat orang sudah cukup dimuat dengan pick up biru tua. Soal barang, kurasa punya Yosi yang terbanyak. Dia memang perempuan cantik dan sudah wajar jika barangnya banyak.

Rumah warisan ayah, sejujurnya aku tidak tahu bagaimana rupanya atau aku tahu tetapi tidak ingat. Yang jelas, cukup jauh, masuk pedalaman dan dekat hutan. Daerah terpencil walau ada kota kecil di dekatnya. Soal sekolah, Yosi memutuskan untuk pindah. Demikian pula dengan Toto, adikku yang masih SMP itu berkata sudah lelah dengan para cewek di sekolahnya dan ia tidak keberatan pindah. Heina masih kelas 3 SD jadi dia ikut saja ketika kubilang padanya bahwa dia akan pindah sekolah.

Cukup lama, setelah terombang-ambing di jalanan berbatu yang cukup membuat pantat panas dan sakit, kami tiba. Yosi segera turun begitu aku mematikan mesin pick up. Rasanya dia sudah jengah dan tidak nyaman karena duduk berdesakan di pick up yang sempit. Setelah itu, disusul Toto dan Heina yang juga turun dari pick up. Mereka seketika terpana menatap rumah tua di depannya, rumah baru kami.

Aku menutup pintu pick up, menatap ke arah rumah baru kami, rumah peninggalan ayah yang menurutku jauh lebih mengenaskan dari rumah kecil yang kami tempati sebelumnya.

Rumah itu sebenarnya cukup bagus, terdiri dari dua lantai dengan enam jendela. Salah satu jendela kacanya pecah, lima lainnya retak. Sebuah garasi yang terlihat cukup kokoh di dekatnya. Dindingnya sudah kusam, kehitaman dan bahkan ada sulur tanaman rambat dimana-mana. Di sekitar rumah itu juga tampak kumuh, ada banyak sampah dan tanaman liar. Jelas, rumah itu tidak terawat dan tampaknya tidak pernah ada yang tinggal disana. Bahkan ayah sekalipun.

"Kak," panggil Toto membuatku menengok ke arahnya.

"Ya?" sahutku.

"Kita tinggal di sini?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Aku mengangguk dan ia terlihat tidak suka.

"Lihat! Di sini jorok sekali, bagaimana mungkin aku bisa tinggal di sini?" sungutnya dan aku hanya memandangnya dengan ekspresi yang menunjukkan rasa bersalah dan juga permohonan agar dia tetap tinggal.

"Kamu bawa peralatan?" tanya Yosi.

Aku menoleh lalu mengangguk.

"Sudah siang, sebaiknya kita segera membersihkannya jika ingin tidur dengan nyaman malam ini!" katanya lalu bergerak menuju pick up biru tua kami.

Aku tersenyum, lega karena setidaknya Yosi masih bisa diandalkan.

Aku ambil peralatan, sebilah sabit, sarung tangan, sepatu boot tinggi, sapu lidi dan peralatan lainnya. Setelah itu aku, Yosi dan kedua adikku yang lain kami mulai berjalan memasuki rumah itu.

Aku membuka pintu rumah itu, lalu terciumlah bau yang menyebalkan. Ada debu, busuk dan yah, khas  rumah tua yang lama ditinggal menyeruak begitu pintu itu kubuka. Yosi segera menutup mulut dan hidungnya sementara Toto dan Heina tampak batuk-batuk.

"Kak, kotor!" keluh Toto.

"Sabar, kakak bersihkan!" ucapku.

Kami mengarahkan pandangan ke sekitar rumah. Ruang tamunya benar-benar besar. Rumah ini bahkan cukup besar untuk kami tinggali berempat. Dari luar, rumah ini terlihat dua lantai dengan enam ruangan jika dihitung dari jumlah jendela tetapi saat kuperhatikan dengan seksama, di sini ada lebih dari enam ruangan.

THE SATANIST ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang