Sekitar jam empat pagi, jika kulihat dari jam dinding ruang tamu, aku terbangun. Rasa linu, perih dan sakit di punggungku langsung menyerang begitu kesadaranku kembali. Rasanya tulangku patah atau setidaknya retak karena menghantam dinding. Namun, yang membuatku cemas bukan soal tubuhku, tetapi Heina.
Tertatih, dengan kaki yang sedikit kuseret, aku berjalan menuju kamar Heina. Begitu masuk kamarnya, hawa panas yang begitu menyengat begitu terasa. Kamarnya panas, sangat panas seolah ada penghangat ruangan. Kulirik jendela kamar Heina, tertutup rapat. Namun masih terasa aneh, karena bulu kudukku meremang semua. Seolah aku baru saja memasuki sebuah dimensi yang berbeda.
Aku terus mendekati Heina yang bertutup selimut. Jantungku berpacu, pikiranku kacau dan mulai membayangkan berbagai kemungkinan. Aku merasa takut, jikalau kusingkap selimut itu, yang muncul bukanlah Heina adikku tetapi hal lain. 'Itu', tak perlu kukatakan.
Srek.
Kubuka selimut Heina dan bernapas lega. Adikku tertidur pulas dengan keringat yang begitu banyak. Aku duduk di tepi kasurnya, kuseka keringatnya dengan ujung lengan bajuku lalu kuelus-elus rambutnya.
"Tidur yang nyenyak, sayang!" kataku setengah berbisik agar tidak mengganggu tidurnya.
Aku hendak pergi ketika kuamati ada memar di tubuh Heina. Kuperiksa lengan, leher dan bahkan kakinya memar semua. Dan yang paling membuatku tercengang adalah ada bekas darah dan kulit di ujung kuku-kuku tangannya. Jadi, apa yang tadi kualami adalah benar dan itu memang Heina, adikku. Ia merangkak dalam tidurnya.
Aku periksa denyut nadinya, jantungnya dan bernapas lega karena ia masih bernapas. Heina masih hidup walau rasanya tidak bisa kupercaya ada manusia yang bisa merangkak terbalik, bergelantungan bahkan memutar kepalanya saat tidur.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menyadarkan diriku secepat mungkin. Kuputuskan untuk membersihkan kuku-kuku Heina, dia tidak boleh tahu apa yang terjadi. Akan kurahasiakan. Aku sangat yakin, kalau Heina begini karena wanita itu. Bagaimanapun aku harus mencari informasi mengenai wanita itu, siapa dia dan mengapa dia menggangguku.
Pagi menyapa dan sarapan sudah jadi. Yosi yang bangun lebih dulu, walau tidak membantu, dia sudah bangun dan menyapaku.
"Aku butuh uang," ucapnya sambil duduk di kursi ruang kekuarga.
Aku yang tengah asyik di dapur hanya menoleh sebentar ke arahnya lalu melanjutkan mencuci piring.
"Berapa banyak?" tanyaku.
"Tidak banyak, hanya Rp200.000," jawab Yosi.
Clak.
Gelas yang sedang kupegang terjatuh ke rak cuci piring.
"Terlalu banyak?" tanya Yosi.
"Ah, ng-nggak," aku sedikit tergagap lalu buru-buru mengambil gelas yang jatuh dari tanganku.
"Untuk apa?" tanyaku ingin tahu. Bagaimanapun uang yang Yosi minta tidak sedikit. Terlebih bagiku yang kini hanya seorang pengangguran dan mengandalkan tabungan saja.
"Biaya sekolah," jawab Yosi santai.
"Beli buku?" tanyaku mencoba menebak akan ia apakan uang itu.
"Begitulah," sahutnya malas.
"Baiklah, nanti akan kuberikan!" kataku mengiyakan permintaannya.
"Satu lagi, aku akan ke sekolah sendiri!" kata Yosi.
"Kenapa?" tanyaku.
"Jalan kaki jauh lebih baik," jawabnya lalu beranjak pergi tanpa menungguku memberikan ijin padanya atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SATANIST ( TERBIT)
TerrorThe Satanist. Judul sebelumnya " IT" DAPAT DIPESAN DI IG @ATPRESS.SOLO atau ke ig penulis @inag2711 jika stok masih ada.