Bab 2

5K 621 65
                                        

Aku terbangun dari tidurku ketika Yosi menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku mendongakkan kepalaku lalu menatapnya dengan pandangan yang belum sepenuhnya jelas.

"Sudah pagi, kamu harus mengantar kami!" ia berucap dan aku hanya mengangguk.

Setelah itu aku pergi ke kamar mandi di lantai dua, hendak mandi.

"Haha,"

"Dingin,"

Aku berhenti, mengamati salah satu kamar mandi yang pintunya ditutup. Terdengar suara Heina dan Toto dari salah satu kamar mandi. Sepertinya Toto mandi dengan Heina, mereka berdua laki-laki dan saudara pula, jadi tidak apa-apa. Aku pun masuk ke kamar mandi di sebelahnya, meneruskan niatku untuk mandi.

Selesai mandi, masih kudengar suara air. Sepertinya mereka masih belum selesai.

"Toto cepat! Nanti terlambat!" seruku mengingatkan sembari menuruni tangga.

"Kakak!" sapa Heina yang sudah rapi.

"Lho?"

"Heina pakai baju sendiri," lapornya.

"Ah, bagus!" pujiku sembari memberikan belaian lembut di pipinya.

"Sudah siap?" tanyaku pada Yosi yang sudah memakai tas punggungnya dan kulihat Toto sudah berdiri di teras. Dia juga sudah siap dengan seragamnya. Adik lelakiku itu bahkan melambaikan tangannya agar aku segera menuju pick up biru kami.

Aku menelan ludah, menyeka keringatku dan mencoba tersenyum walau itu pasti kaku sekali.

"Baiklah! Ayo berangkat!" ujarku lirih disambut anggukan ketiga adikku.

Selesai mengunci pintu, aku kemudian berjalan menuju pick up dimana ketiga adikku telah menunggu. Sebelum itu, aku memastikan diriku baik-baik saja. Aku meyakinkan diriku bahwa kejadian kemarin dan barusan adalah halusinasiku karena terlalu lelah. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan dan aku harus cukup berani agar bisa melindungi ketiga adikku. Aku sudah berjanji pada ibu.

Selesai mengantar Heina, Toto dan juga Yosi ke sekolah baru mereka, sekaligus memberikan beberapa nasehat yang mungkin sudah mereka hafal, aku pun pergi.

Jika ada orang asing mengulurkan tangannya padamu, menjeritlah lalu berlari sekuat tenagamu. Jangan menoleh ke belakang!

Jika ada suara yang memanggilmu tetapi tidak ada siapapun, jauhi suara itu lalu pergi secepatnya. Jangan berbalik ke belakang!

Jangan memandang mata orang yang terlihat berbeda. Abaikan dan terus berjalan. Jangan menoleh kemanapun, jika tidak sanggup tutup matamu!

Begitu pesanku pada ketiga adikku dan semua pesan itu kudapat dari ibu. Ibu bilang seluruh keluarga ayah begitu dan ibu tak mau anaknya terluka. Ya, wajar saja jika tidak ada ibu yang mau anaknya terluka. Aku juga sama, aku tidak mau adikku terluka. Namun, ibu sepertinya hanya membual, dia tidak pernah kembali pada kami setelah malam itu. Jika dia peduli, harusnya aku tidak akan berakhir seperti ini.

Aku memarkirkan pick upku di sebuah supermarket yang bisa kubilang supermarket pertama yang kutemui di kota ini. Aku sudah pernah kesini ketika mendaftarkan adikku tapi belum pernah ke supermarket ini. Suasana supermarketnya cukup sepi, kurasa belum ada banyak penduduk yang berkunjung kemari pada jam segini.

Aku membeli berbagai macam kebutuhan harian, cukup banyak agar bisa cukup seminggu. Aku menggunakan uang hasil penjualan rumah kami. Tidak banyak tetapi cukup untuk setengah tahun. Yang perlu kulakukan hanya melakukan penghematan sehingga jika tiba-tiba adikku butuh uang untuk keperluan sekolahnya, aku tidak perlu repot untuk mencarinya. Aku belum mendapatkan pekerjaan, jadi harus bisa mengatur keuangan dengan baik.

THE SATANIST ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang