satu

58.2K 3.9K 288
                                    

Aku berlari di lorong rumah sakit dengan panik, mengabaikan tatapan aneh orang-orang, karena penampilanku pasti sangat janggal. Tidak ada orang waras di Jakarta yang mengenakan sweater setebal ini, dengan celana wol dan boots kulit. Tapi aku baru saja datang dari negara dengan salju bertaburan di mana-mana, dan dari bandara aku langsung menuju rumah sakit. Masih untung aku ingat untuk melepaskan mantelku dan meninggalkannya di mobil bersama sopir Mami yang menjemputku tadi.

Aku buru-buru masuk ke ruang rawat VIP. Di dalam sana, sudah ada Mami, Ci Flo dan Ko Theo, Ricky, Ronny, dan Freddy. Tapi aku tidak memusingkan mereka semua. Aku langsung menuju ranjang, dan menggenggam tangan yang ada di sana. Tangan yang dulu begitu tegas dan keras, yang selalu sigap melindungi kami semua, sekarang begitu kurus. Jantungku sakit melihatnya dalam kondisi seperti ini.

"Papi..."

Tanpa sadar airmataku mengalir. Papi yang tampan sekarang tinggal kulit yang hanya membalut tulang, dengan mata terpejam rapat, tidak sadarkan diri.

Aku memang terlambat pulang, karena kemarin adalah jadwal sidang thesis untuk gelar Magisterku. Begitu selesai sidang, aku langsung mengambil penerbangan malam itu juga untuk pulang ke Indonesia, karena Ci Flo mengatakan kalau kondisi Papi memburuk.

Baru tiga bulan yang lalu Papi didiagnosa terkena tumor otak. Tiga Bulan!! Dalam waktu tiga bulan, tumor ganas itu sudah mengubah Papi sedemikian rupa menjadi tengkorak hidup.

"Papi, Lili pulang. Lili sudah lulus sidang, Pi. Lili sudah menyelesaikan S-2 Lili, dan sekarang Lili siap untuk membantu perusahaan Papi. Semua akan baik-baik saja. Lili janji."

Tiba-tiba tanganku disentuh, dan aku mengangkat wajahku. Ci Flo menatapku dan menggeleng, matanya merah kebanyakan menangis.

"Dokter minta kita semua bersiap untuk kemungkinan terburuk."

"Nggak," tolakku. Papi nggak boleh pergi dulu!

Lalu Freddy menarikku dalam pelukannya.

"Relakan Papi, Li. Kasian Papi. Kami semua nggak tega lihatnya."

Aku mendekap Freddy, dan menangis tersedu-sedu.

***

Aku menatap makam yang masih basah itu dengan nanar. Air mataku sudah kering, dan aku yakin mataku bengkak. Tapi aku tidak peduli. Papiku pergi, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Mami bahkan sudah pingsan daritadi, saat peti mati Papi dimasukkan ke dalam liang lahat, dan saat ini, saat para kerabat dan sahabat papi sudah meninggalkan tempat ini, kami masih di sini. Kelima anaknya, berdiri berjejer di depan gundukan yang saat ini penuh dengan bunga tabur, diam menatap nama Papi dengan perasaan campur aduk. Sedih, marah, takut, sakit, semua bercampur jadi satu.

Sampai mentari terbenam, barulah kami semua bergerak meninggalkan jasad Papi, di tempat peristirahatan terakhirnya.

***

Malamnya, aku bermimpi tentang Papi.

Kami sedang duduk santai di ruang kerja Papi, seperti yang biasa kami lakukan saat aku belum pergi ke US untuk kuliah. Papi juga terlihat sehat, duduk di meja kerja dengan kacamata bacanya, membaca laporan.

Aku langsung mendekati dan memeluknya sambil menangis.

"Papi..."

"My little Lili.."

Papi mendekapku erat, dan aku bisa merasakan kehangatannya.

"Papi senang kamu sudah pulang. Papi titip perusahaan dan Mami kamu ya..."

Another DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang