Aku ingat sepotong percakapanku dengan Mami, seminggu sebelum aku berangkat ke California bersama Benji untuk kuliah.
"Lili..."
"Ya, Mi?"
Mami berdeham pelan, sedikit salah tingkah, menunjukkan betapa topik ini sulit untuk dibicarakan. Aku menunggu dengan sabar, sampai Mami akhirnya membuka mulutnya.
"Kamu tahu kalau Mami dan Papi membuat kesalahan yang berakibat pernikahan kami?" Aku mengangguk. Aku tahu Mami hamil sebelum menikah dengan Papi. Kan aku bisa berhitung. Ci Flo nggak mungkin lahir prematur 6 bulan.
"Mami dan Papi membuat kesalahan, walaupun kami tidak menyesali, memiliki kalian semua sebagai anak-anak kami. Tapi delapan tahun pertama begitu berat."
Aku mendengarkan Mami bercerita tentang penderitaannya menikah tanpa cinta, menikah karena terpaksa, harus hidup dengan pria yang sudah merusak masa depannya yang harusnya tertata rapi namun hancur karena hubungan semalam.
Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.
Mami menepuk tanganku yang ada dalam genggamannya.
"Mami tahu ini kedengaran kolot, dan Mami sendiri melanggarnya, tapi Mami ingin kamu berjanji. Jangan pernah berikan milikmu yang paling berharga kepada laki-laki manapun sebelum ada ikatan pernikahan diantara kalian."
Aku mendengus.
"Mana mungkin, Mi. Aku bayanginnya aja jijik-"
"Lili," potong Mami, dan baru kali ini aku mendengar Mami berbicara dengan tegas padaku.
"Mami sudah mengalaminya. Mami menghancurkan diri Mami sendiri saat memberikan kehormatan Mami pada Papi sebelum kami menikah, dan yang lebih konyol dari semuanya, kami bahkan tidak pacaran saat itu. Jadi Mami sangat berharap kamu tidak mengulangi kesalahan Mami, dan mengalami neraka di pernikahanmu nanti."
Aku baru akan memotong saat Mami kembali bicara.
"Tidak mudah menolak pesona lawan jenis, apalagi jika kamu tertarik dengannya, atau bahkan sayang dan cinta padanya. Dan kamu akan pergi ke negara yang kehidupannya begitu bebas, Mami tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Tapi Mami mau kamu berjanji. Tidak Benji, tidak siapapun, yang boleh menyentuhmu lebih dari sewajarnya sebelum kalian menjadi pasangan suami isteri."
Aku akhirnya dengan perlahan mengangguk, lalu Mami tersenyum.
"Ya, Mi. Aku janji. Aku akan menjaga diriku baik-baik. I'll stay virgin until my marriage day. You can keep my words."
***
Aku tersentak.
Terry, yang sedang menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku, menyadari gerakanku dan mengangkat wajahnya.
Aku bisa melihat kabut gairah di matanya, tapi senyum yang mengulas wajahnya dan kata-kata yang dilontarkannya membuatku terkejut.
"Kalau kamu mau berhenti, aku akan berhenti, Princess."
Aku terpaku, dan tanpa bisa kucegah, air mataku mengalir. Aku nggak mau berhenti, tapi janjiku pada Mami membuatku sadar.
"Iya, kita harus berhenti..."
Terry langsung menarikku ke dalam pelukannya, dan aku terkubur dalam dada telanjangnya yang hangat. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup cepat, yang anehnya sangat menenangkan. Aku langsung merasa rileks. Apalagi, sejujurnya, sentuhan kulit dengan kulit seperti ini terasa menenangkan.
"Maaf, Lili. Aku nggak berencana membuat kamu menangis begini..."
Aku mengangkat wajahku, dan mencium bibir Terry. Terry membalasku. Bukan dengan nafsu, tapi dia menyalurkan cintanya, kekuatannya, membuatku merasa aman dan nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Day
ChickLitLilian merasa dunianya runtuh saat sang ayah meninggal, dan meninggalkan perusahaan yang terjerat utang padanya. Di saat tidak ada yang dapat membantunya, hanya satu orang yang bersedia membantunya, dengan syarat dan ketentuan berlaku. "Menikah sama...