Aku benar-benar kembali. Maksudnya aku nggak meninggal.
Tapi seriusan, ini nggak ada yang lebih nggak sakit ya?
Aku terbangun dengan sakit di sekujur tubuhku. Kepalaku sakit, perutku mual, kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, tubuh lemas, dan selang di mana-mana. Tapi menurut dokter, itu reaksi yang wajar, sebagai efek samping pasca-operasi.
Belum lagi reaksi mereka saat melihatku bangun.
Ih, kan sudah kubilang aku baik-baik saja.
Alhasil, aku yang mustinya bisa keluar rumah sakit seminggu kemudian, ditahan sampai dua minggu lebih hanya karena aku mendadak demam tinggi di hari ke-enam.
Terry-ku sayang yang lebay.
Padahal dokter saja memujiku, katanya tubuhku punya daya juang yang tinggi untuk pulih.
Ya, habisnya kalau aku nggak pulih, Terry gimana?
Hari ini aku keluar rumah sakit. Akhirnya.
Infusku sudah dilepas sejak kemarin, sejak aku bisa makan dengan normal tanpa mual-mual lagi.
Aku berdiri di depan cermin di kamar mandi, menatap pantulan wajahku yang tampak pucat dan sangat kurus. I look horrible, actually. Ditambah lagi luka melintang di kulit kepalaku yang sudah mengering, namun meninggalkan bekas merah yang cukup panjang, sangat kentara di sana, tanpa rambut yang menutupinya.
Berat badanku menyusut banyak, aku menyadarinya saat mengenakan kemeja pas badanku, dan memundurkan lubang ikat pinggangku karena celanaku sangat longgar.
Saat ini aku bersyukur sudah menikah dengan Terry. Bayangkan kalau aku menikah sekarang. Foto pernikahanku pasti jelek sekali. Akunya, bukan Terry. Dia mah selalu ganteng.
Aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Terry berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar, sedang menelepon dengan nada serius.
"Ya, Marsha. Suruh Tommy menggantikan saya berangkat. Iya, sama kamu. Sama siapa lagi? Ya, Mister Chen sudah tahu. Nanti sore kamu dan Tommy datang ke rumah saya. Bawa semua berkas. Iya, saya sudah pulang hari ini. Jangan ada yang ketinggalan, Marsha."
Terry menutup ponselnya dan berbalik, lalu tersenyum saat melihatku. Dia berjalan mendekatiku dan mengecup bibirku.
"Princess sudah siap pulang?" bisiknya pelan di telingaku, dan tubuhku meremang. Aku masih belum terbiasa dengan dirinya yang bersikap manis padaku seperti ini, walaupun dia melakukannya hampir setiap hari. Berbisik di telingaku, maksudku. Rasanya otakku diacak-acak oleh suaranya yang agak nge-bass itu.
"Sudah. Ih, kok Princess sih?"
"Lho? Udah nggak mau dipanggil Princess? Maunya dipanggil Nyonya Hanafi aja?"
Aku merasakan wajahku memanas.
Aku masih belum bisa percaya aku menjadi isteri Terry. Rasanya seperti mimpi.
Perawat masuk dan mengecekku untuk terakhir kali, dan tersenyum tipis saat mengucapkan selamat pulang padaku, sebelum keluar lagi dari kamar, meninggalkanku berdua dengan Terry.
"Ayo," kata Terry.
"Tunggu. Mana wig-ku?"
Terry mengernyit dalam.
"Apa perlu?"
"Perlu. Aku nggak mau nanti kulit kepalaku kena sinar matahari langsung."
Terry menatapku tidak setuju, namun mengambilkan salah satu wig dari dalam tas travel, dan membantuku mengenakannya. Aku merasakan helaian rambut jatuh di sisi kepalaku, menyentuh bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Day
ChickLitLilian merasa dunianya runtuh saat sang ayah meninggal, dan meninggalkan perusahaan yang terjerat utang padanya. Di saat tidak ada yang dapat membantunya, hanya satu orang yang bersedia membantunya, dengan syarat dan ketentuan berlaku. "Menikah sama...