Aku main di rumah Benji sampai malam, karena mereka berdua - Ko Felix yang akhirnya bangun memaksaku ikut makan malam dengan mereka. Aku sebenarnya malu, mengganggu pasangan ini, tapi aku juga malas pulang. Moodku sedang nggak bagus, dan aku nggak mau membuat Mami khawatir melihatku seperti ini. Setidaknya di sini, aku bisa ketawa-ketawa dengan mereka berdua.
Kami makan malam bersama, delivery dari salah satu restoran chinese food favorit aku dan Benji. Sepanjang makan malam, aku tak berhenti meledek Benji yang sepertinya nggak mampu menjauhkan tangannya dari Ko Felix yang terus menerus menepis tangannya karena malu.
Namun saat makan malam berakhir dan kami duduk mengobrol di sofa depan televisi, Ko Felix sudah lupa dengan rasa malunya dan asik mengobrol denganku sambil duduk di pangkuan Benji. Kemesraan mereka berdua sungguh membuatku iri.
"Mau nginap aja nggak di sini malam ini?" tawar Ko Felix, yang langsung mendapat tolakan tegas dariku dan Benji.
Gila aja, semalaman aku disuruh mendengar mereka gituan? No, no, no. Makasih banyak.
Benji berbisik pelan di telinga Ko Felix, dan wajah Ko Felix langsung merona. Benji pasti ngomongin hal mesum. Ck. Kebiasaan.
Tak lama kemudian, bel rumah Benji berbunyi nyaring. Ko Felix dan Benji saling bertatapan, sebelum Ko Felix bangun dari pangkuan Benji.
"Biar aku yang buka."
Ko Felix pergi untuk membuka pintu, dan yang tidak kuduga, Terry menghambur masuk ke dalam rumah dan dia terlihat panik. Dia benar-benar terlihat aneh, karena biasanya dia minim ekspresi. Sepertinya baru kali ini aku melihat dia lepas kendali begini.
Benji bangkit berdiri dan tersenyum tipis padaku.
"Beresin tuh, masalah lo sama laki lo. Gue naik dulu."
Lalu Benji menarik Ko Felix yang nyengir minta maaf padaku, lalu mereka bergandengan tangan menuju kamar Benji di lantai dua. Lalu aku akhirnya ngeh.
Ini pasti kerjaan mereka berdua.
"Kenapa kamu mematikan ponselmu?! Kenapa kamu melarikan diri begitu saja dari bridal Nina?!" tanya Terry begitu suara pintu kamar Benji tertutup. Dia bertanya dengan nada suara yang benar-benar asing di telingaku, mungkin karena panik. Tapi kenapa harus panik, aku nggak ngerti.
"Hai, Terry," kataku sok kalem, sambil bangkit berdiri dan menghadap Terry. Kalau mengikuti kata hati sih, aku males banget ketemu dia sekarang. Tapi apa daya, udah ketemu. Mau gimana lagi.
"Untung saja Ben mau memberitahuku kalau kamu ada di sini!"
"Oh..." jadi Benji yang memberitahunya.
"Ada apa denganmu, Lili? Tadi pagi kamu masih baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu aneh?"
"Nggak, biasa aja."
"Biasa aja bagaimana? Biasanya ponselmu tidak pernah tidak bisa dihubungi seperti ini!"
"Ponselku mati. Itu kan wajar."
"Coba lihat aku dan bilang kalau kamu biasa aja."
Aku baru sadar, daritadi aku tidak melihat Terry. Aku sibuk memandangi lukisan gunung hasil karya Benji - dan aku - saat SMA, saat kami masih ikut ekskul melukis. Benji berbakat dalam melukis, tapi orangtuanya menentangnya mendalami profesi ini, jadi dia yang nggak tahu mau ngapain, ikut saja saat aku mengajaknya kuliah bisnis di Amerika. Untung dia multitalent dan mau belajar hal baru. Kalau nggak, mungkin perusahaannya saat ini sudah gulung tikar.
"Lili! Lihat aku!"
Oke, aku malah ngalor ngidul ke mana-mana, lupa kalau ada yang lagi berapi-api di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Day
ChickLitLilian merasa dunianya runtuh saat sang ayah meninggal, dan meninggalkan perusahaan yang terjerat utang padanya. Di saat tidak ada yang dapat membantunya, hanya satu orang yang bersedia membantunya, dengan syarat dan ketentuan berlaku. "Menikah sama...