Pihak Rasa

33 0 0
                                    

"Ini untukmu, silahkan ambil saja, kuberikan dengan suka rela
tapi, bisakah Aku meminta ganti?
yaitu hatimu"

~Garis Asa~
(Kata sang fajar ketika malam sedang bergelut mesra)

Malam seakan menjadi saksi, bagaimana Fathur dan Alira begitu lekat, seperti memiliki hubungan yang hanya Tuhan mampu memisahkan, Alira cewek itu terlihat begitu bahagia dengan senyum yang tak pernah tampak di sudut mata
ya, katakanlah Aldo cowok bodoh yang sejak tadi menguntit mereka, entah apa yang Aldo ingin tau tentang Alira, tapi mengapa hati Aldo begitu terasa sakit melihatnya? Seperti sayatan luka yang baru terlihat ketika terkena air, sakitnya hingga membuat nafas Aldo sesak

"kamu haus? Mau minum?" telinga Aldo masih mendengar pembicaraan mereka, bagaimana tidak, Aldo tepat di belakang Alira dengan hoodie, topi dan kacamata hitam, begitu rapat, entah takut dikenali Alira, atau takut ketahuan kalau Aldo mengikuti Alira

"Aku mau coklat ya, yang manis" jawab Alira dengan antusias, mengapa setiap hal yang di tawarkan Fathur, setiap hal yang diberikan Fathur, Alira sangat antusias meski sederhana tapi rasanya kenapa Alira begitu senang dengan semua itu? Begitu banyak pertanyaan di pikiran Aldo, sampai Aldo tidak melihat apapun selain Alira yang sedang berdiri sendiri sambil memainkan ponselnya

"bego! Ninggalin cewe sendirian di tempat kayak gini, untung aja ada gue" Aldo bermonolg dengan dirinya sendiri, lalu berjalan ingin mendekati Alira, tapi di urungkannya, Aldo malah berbelok ke arah permainan lempar bola

"Kalo gue ngga dapetin tuh boneka, berarti gue emang ngga pantes jadi cowo lu lir" lagi-lagi Aldo bermonolog, matanya fokus pada boneka dan sesekali melirik Alira

"yes" tepat sasaran, hanya satu kali lemparan Aldo mendapatkan bonekanya

"berarti gue cocok jadi cowo lu lir"

"ini mas bonekanya, terima kasih mas sudah main di arena kami" ucap penjaga yang hanya di acungi jempo oleh Aldo
dengan penuh percaya diri Aldo berjalan menghampiri Alira dengan boneka teddy yang di ingini Alira, memang Aldolah yang pantas mendampingi Alira, bukan Fathur, bahkan memberikan boneka untuk Alira saja dia tidak mampu.

"Ekhem" Aldo berdehem, berusaha menarik perhatian Alira, namun Alira tetap cuek dan fokus pada ponselnya

"hey" kini Aldo menyentuh pundak Alira, yang berhasil membuat Alira terlonjak kaget, untung saja Alira tidak mengidam penyakit jantung, jadi tidak berpengaruh besar bagi kesehatan Alira

"kenapa ya?" tanya Alira

"buat lu"

"hah?"

"bonekanya buat lu, ambil aja gue rela" Alira belum juga mengambil boneka yang sudah berada di hadapannya, Aldo mengapit bonekanya lalu mnarik kedua tangan Alira dengan paksa dan membiarkan Alira memeluk bonekanya

"eh?" Alira masih bingung dengan perlakuan orang asing di depannya
cowo itu masih menggenggam tangan Alira lalu sedikit mendekat

"tapi, nanti gue boleh minta ganti?"
"maskudnya?"

"hati lu, tapi nanti ngga sekarang, gue mau di peluk selayaknya boneka ini, sampai jumpa, semoga besok tuhan menemukan kita lagi" bisik Aldo tepat di telinga Alira, membuat Alira bergidik ngeri

Aldo melenggang pergi, meninggalkan bazar dan membiarkan Alira menghabiskan waktunya dengan Fathur, karena Aldo yakin tidak akan lama lagi, dirinyalah yang berdiri di samping Alira, dan satu lagi Aldo tidak akan ceroboh meninggalkan Alira sendiri.

"Al, maaf ya nunggu lama" dari kejauhan Fathur berjalan agak cepat sambil membawa minum untuk Alira"

"ah, ya, gapapa kok, sini dong cepetan Aku haus banget tau" Alira sedikit terkejut, hanya saja untuk menutupi keterkejutanya Alira langsung meminta minum yang dibawa Fathur

"lho Al? Ini boneka dari mana, bukannya boneka yang tadi ada di stand lempar bola kan?" tanya Fathur, bagaimana cara Alira menjelaskannya, apakah Alira jujur? Tidak itu sangat tidak masuk akal

"iya dong, tadi sambil nungguin kamu Aku main eh ngga taunya Aku dapat, Aku keren kan?" bohong, Alira berbohong, setidaknya hanya itu alasan yang logis

"Maaf ya, Aku selalu saja gagal buat kamu bahagia"

"hei-hei kenapa Fathur jadi mellow gini sih?" Alira berusaha menutupi kecanggungan di anatara mereka, memang selalu saja begitu Fathur senang menyalahkan dirinya jika Alira mendapatkan yang Alira mau bukan dari Fathur

"habisnya..." Fathur menghentikan ucapannya ketika bibir Alira mendarat di pipinya

"Aku mau pulang" bisik Alira
Alira berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Fathur yang masih terdiam dengan pikiran yang kacau

"Hei! Apa kamu mau berdiri di situ terus? Sampai hujan deras?" teriakan Alira dan tetesan air hujan berhasil membuat kesadaran Fathur kembali

"Hei, tunggu sebentar" Fathur berlari mengejar Alira, dan menarik Alira kedalam pelukannya

"Kenapa kamu egois? Sembarangan! kamu berhasil bikin jantung Aku hampir meledak dan kamu bersikap seakan-akan baru saja meledakan balon? Bagaimana kalau Aku kekurangan okesigen, Kamu harus tanggung jawab"

Alira rasa cukup Fathur, Alira tidak membutuhkan orang lain selain Fathur, karena hanya sebatas pelukan membuat Alira begitu tenang dan damai, adakah pelukan yang lebih damai selain pelukan yang sedang Alira rasakan, bahkan hujanpun seakan tidak dapat dirasakan, telinga Alira tuli karena suara detak jantung Fathur yang mendominasi, kulit Alira mati rasa karena pelukan Fathur yang begitu menghangatkan

"Fathur, kita sudah basah kuyup" Alira berbicara di tengah kehangatan, namun Fathur enggan melepaskan pelukannya, malah semakin erat

"sesak tau, Aku ngga bisa nafas" Alira mendorong Fathur, tapi Fathur tetap memeluk Alira semakin kuat

"kenapa sih kita ngga pacaran aja?"
'deg'
pernyataan singkat Fathur berhasil membuat Alira diam

"kita udah dekat sejak 10 tahun yang lalu, dan kenapa kita hanya diam di tempat yang sama lir? Kenapa kita tidak beranjak jika pada kenyataanya kita saling mencintai" Fathur berbicara, salah Alira yang memancing semua beban yang sudah Fathur simpan sangat lama

"Fathur" Alira menegur Fathur lembut yang berhasil membuat Alira bebas dari pelukan Fathur

"Antar Aku pulang ya? Aku kedinginan" dan Fathur mulai sadar lalu segera membuka mantel di dalam dasbord motornya, yang selalu Fathur bawa hanya untuk Alira, hujan hanya lewat sebentar, tinggal sisa-sisa air yang masih menetes dan membasahi bumi

"kenapa sih kamu selalu bawa mantel satu? Kan kamu juga butuh" Alira mulai dalam mode peduli, kalau begini Fathur akan semakin tidak bisa menahan

"kan yang butuh penghangat Kamu, Aku mah ngga butuh soalnya penghangatmnya kamu" dan Alira hanya tersenyum menanggapi Fathur.

Sajak Kertas BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang