Prolog

629 58 7
                                    

Antrean panjang menyambut ketika ia turun dari mobilnya, rambut pirang pucat tipisnya tergerai tertiup angin pagi yang dingin. Tak ada pilihan lain selain membaur dengan sekelompok manusia dari berbagai usia yang bertahan sejak malam sebelumnya. Meski ia sudah memaksakan diri—dengan bangun sepagi itu, ia harus rela berada di barisan paling belakang yang panjangnya hampir 6 meter itu.

Gerbang besar bertuliskan ujian masuk terpampang dari kejauhan—tempatnya mengantre—beberapa orang tiba-tiba telah berada di sampingnya tanpa ia sadari. Seorang pria dewasa dengan perut buncit, dan seorang anak lelaki seusia dirinya berdiri di kanan, dan kirinya.

"Hei, bukankah itu gelang status terbaru?"

Dia mengalihkan pandangannya ke sumber suara, anak laki-laki berambut ungu dengan poni itu menyeringai ke arahnya. Dari yang anak itu kenakan, sepertinya ia berasal dari kota—apalagi pakaiannya tampak mahal.

"Siapa?" tanyanya pada anak laki-laki itu.

"Oh, maaf lupa memperkenalkan diri. Namaku Sakura Makoto, kau bisa memanggilku Makoto," ucap anak laki-laki itu sembari menjulurkan tangan—tuk bersalaman.

"Rin, Amagi Rin," balasnya agak tak nyaman dengan pria paruh baya di sampingnya—tengah menatap mereka dengan dongkol.

"Oh, Rin ya ..., apa benar itu gelang status keluaran terbaru?"

"Benar, dari mana kau tahu? Padahal ini baru dipublikasikan beberapa hari lalu."

"Huhu, biasa saja. Ayahku punya pengaruh besar di negara ini, dan lihat!" Makoto menunjukkan gelang status di tangannya kepada Rin. "Bagaimana, baguskan?"

Sepintas Rin menatap gelang status di lingkaran tangan Makoto, meski tampak sama dengan gelang statusnya—namun itu jelaslah versi yang berbeda. Gelang itu tampak telah dimodifikasi bagian luarnya, hingga menyerupai gelang status keluaran terbaru itu. Orang awam tak mungkin bisa membedakannya, kecuali Rin yang tiap hari berkutat erat dengan teknologi-teknologi modern di tempat kerjanya.

"Ya, bagus."

"Sudah kuduga, Huhu—"

Makoto tertawa ringan, ketika barisan di depannya mulai menunjukkan mobilitasnya. Wajah-wajah muram peserta ujian keluar dari gerbang besar itu. Beberapa bahkan ada yang muntah-muntah karena terlalu keras berpikir dengan tekanan oleh para pengawas.

"Weh, sepertinya parah."

"Lebih parah dari yang sebelumnya."

"Ujian tertulis bisa sampai begitu ya?"

"Gila, ada yang pingsan."

"Kuharap waktunya cukup."

Orang-orang mulai gaduh menanggapi mereka yang keluar dari pintu gerbang besar, tak sedikit pula ada yang memilih untuk kembali membaca rangkuman materi ujian yang disusunnya dalam bentuk soft file. Rin tak berada dalam posisi keduanya, dia lebih memilih merogoh sakunya, dan mengeluarkan sebuah novel ringan.

"Rin-kun, itu—bukannya 'Rahim Si Pencuri,' karya Edelweis-sensei? "

"Oh, kau tahu rupanya. Apa kau fans-nya?"

"Tidak-tidak, adikku yang fans beratnya. Lagi pula aku ini tak suka membaca, huhu—"

"Tapi kenapa kau bisa tahu kalau ini karyanya?"

Menjadi Karakter Cacad Di Dunia Lain Bersama Adik Malaikat Tak Berguna! 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang