Masa Lalu

1.2K 51 0
                                    

Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku semangat pagi ini karena hidupku akan berubah... semoga. Sehabis mandi dan rapih-rapih, aku memakan sarapan yang sudah disiapkan bunda, tetapi aku tak melihat adanya tanda-tanda Mario di sini. Kemana ya dia?

Setelah makan, aku pergi ke ruang tamu dan melihat kamarnya. Kamarnya kosong dan tertata rapih. Apa dia pergi? Apa ia tak datang untuk nanti? Bagaimana jika aku sudah tak membencinya, tetapi ia tetap membenciku? Bagaimana jika aku sudah melepas traumaku, tetapi dia belum? Lalu... mengapa aku jadi khawatir dengannya...?

Bunda dan aku pergi ke Taman Yura bersama Pak Junet. Di sana, kami menunggu kurang lebih 10 menit karena Bu Ami belum datang. Setelah ia datang, aku disuruh ikut dengannya ke lapangan yang cukup sepi.

"Bu, tapi Mario belum datang."

"Dia bisa lain waktu kalau hari ini tidak bisa. Dari pada kamu sia-sia sudah datang ke sini kan."

Iya juga ya, tetapi aku ingin bersamanya.

Ketika Bu Ami sudah memulainya, tiba-tiba saja Mario datang sambil berlari-lari dari belakangku.

"Maaf, Bu. Saya telat."

"Iyaudah, gak papa."

Akhirnya dia datang juga. Jiwaku jadi sedikit lebih tenang.

"Oke, sekarang tutup mata kalian berdua, lalu saling berpegang tangan," perintah Bu Ami.

Aku dan Mario hanya bertatapan ragu karena kami tak pernah berpegangan tangan.

"Ayo. Tunggu apa lagi? Mau cepat selesaikan?"

Mario menarik tanganku dan kami berpegangan tangan. Aku tak merasa bahwa ini adalah tangan kembaranku. Ini seperti tangan orang lain. Dingin. Aku tak bisa merasakan kehangatan keluarga dari tangannya.

"Oke, bagus. Selanjutnya, bayangkan situasi di mana kalian ingin balik ke awal mula masalah kalian dan mengungkapkan segalanya. Apa yang ingin kalian katakan, katakanlah sepuasnya. Luapkan semua rasa kesal, sedih, gelisah yang kalian rasakan semuanya. Ungkapkan apa yang selalu ada di otak kalian namun tak bisa dikatakan."

Perkataan Bu Ami membawaku ke suatu alam di mana bayanganku menjadi nyata. Tepatnya, ketika keadaan di mana detik-detik mereka mengatakan cerai. Saat itu, aku dan Mario hanya berada di kamar kami masing-masing. Aku melihat ayah dan bunda di ruang tamu rumah kami yang dulu dari balik tembok. Jiwaku serasa terbang ke masa lalu, sebelum semuanya berakhir.

"Kamu itu egois! Cuma pake pendapat sendiri! Kamu cuma pikir pendapat dan keputusan kamu yang paling benar! Tapi kalo udah kayak gini gak mau tanggung jawab! Gimana coba? Siapa yang mau bayar utang 50 juta?"

"Tapi apa harus kamu langsung milih perempuan itu?! Itu alesan kamu aja kan!"

"Kata siapa? Aku milih dia karena dia dengerin aku! Gak kayak kamu! Aku gak akan miilih dia kalo kamu gak kayak gini!"

Bunda hanya menangis tanpa menjawab ayah.

Ketika umurku masih 15 tahun. Aku tak bisa melakukan apapun, aku hanya bisa menangis dan terus menangis di dalam kamar. Namun, sekarang aku sudah berumur 22 tahun. Ini saatnya aku meluapkan semuanya.

Aku membuka pintu lebar-lebar dan keluar dari kamar menghampiri mereka. Ternyata, Mario juga melakukan hal yang sama sepertiku. Ia keluar dari kamarnya dan menghampiri bunda.

"Ia, ini saatnya kita ungkapin semuanya."

Aku mengangguk dan mengikuti perintahnya.

"Bunda! Ayah! Cukup! Kalo emang kalian berdua salah, apa salahnya saling memaafkan dan mulai dari awal!" Teriakku sambil menangis.

TwinnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang