"Io, look behind you," ujarku masih tak percaya apa yang sedang aku lihat.
Ketika Mario berbalik badan, ia langsung memeluk pria itu. Ya, itu adalah ayah. Sosok ayah yang tak pernah kutemui lagi selama 7 tahun ini. Sosoknya masih sama, kehangatannya pun masih sama. Tak ada bedanya. Aku merasa kembali ke umurku yang ke-15. Tak ada pikiran lain selain aku memeluknya dan menangis di pelukannya. Kami bertiga berpelukan dengan sangat hangat. Mungkin kehangatan pelukan kami bisa mencairkan kutub utara. Seperti ada magnet yang tak bisa dilepaskan. Hampir lebih dari 5 menit kami berpelukan sambil menangis.
"Izinin ayah nyamperin bunda," bisik ayah.
Aku dan Mario melepas pelukannya dan mempersilakan ia bertemu dengan bunda. Semoga bunda tidak menyimpan dendam apapun kepada ayah.
Ayah menghampiri bunda lalu memegang tangan bunda sambil menangis dan meminta maaf.
"Fio, kenapa lo bisa ketemu ayah?" Tanyaku berbisik.
"Pas gua on the way ke sini, tiba-tiba dia nyamperin. Ternyata dia tau gua pernah deket sama lu. Dia jauh-jauh dari Surabaya buat liat kalian yang ada di TV dan mengakui kalo kalian itu twincest."
"Shit. Semua orang tau, Ia. Udah, kita bener-bener hopeless buat hidup." Mario berpasrah.
"Hah? Ya enggaklah. Bahkan karir kalian masih panjang. Liat bunda sama ayah kalian. Kalo gak gara-gara kalian bilang gitu, ayah kalian gak akan nyamperin ke sini kan?"
"Tapi kita udah dipandang orang-orang gak normal."
"Kalian tinggal bilang itu settingan lalu kalian tunjukin kalo kalian normal. Ya dengan cara kalian punya pacar masing-masing, selesai kan?" Usul Fio sangat membangkitkan semangat hidupku.
"But, who?" Tanyaku.
Fio tersenyum dan merangkulku.
"In front of you, already."
Aku tersenyum dengan mata yang masih sembab dan air mata masih berlinang di pipi. Thanks, Fio. Kamu penyelamat senyumku di tengah keterpurukan.
"Ia, Fio, kita ke depan aja. Terlalu rame di sini. Biarin bunda berdua sama ayah," ajak Mario.
Ayah menghadap ke kami lalu melarang kami untuk keluar.
"Kalian sini aja, ada yang perlu kita bicarakan."
Akhirnya aku dan Mario tidak jadi keluar ruangan. Kami berkumpul di sisi-sisi kasur bunda. Fio tersenyum lalu keluar dan menutup bilik gordyn.
"Eh, kamu juga gak papa di sini."
Ia membuka sedikit bilik gordyn-nya dan menyelipkan kepalanya di antara gordyn yang sedikit terbuka.
"Gak enak, Om. Saya kan orang lain."
"Loh, bukannya kamu bakal jadi anggota keluarga kita?" Ledek ayah sambil tersenyum dan melirik ke arahku.
Aku pun ikut tersenyum malu melihat tingkah konyol ayah yang telah lama tak kudengar.
"Haha, bisa aja, Om. Aku tunggu di luar aja." Fio juga hanya tersenyum malu mendengar perkataan ayah.
"Siap deh gua jadi bridesmaid," ledek Mario juga.
"Udah ah, udah."
"Oke, kita mulai ya. Sebelumnya ayah mengucapkan beribu syukur kepada Tuhan karena mempertemukan ayah lagi dengan kalian, meskipun mungkin itu karena masalah, tetapi setidaknya kita bisa ketemu lagi setelah 7 tahun kita gak pernah kontakan. Ayah juga mau minta maaf sama bunda dan juga sama kalian karena keegoisan ayah yang dulu ternyata berdampak sangat besar kepada kalian. Satu alasan ayah meninggalkan bunda bukan karena ayah gak sayang sama bunda. Ayah sayang, sayang banget sampe sekarang pun ayah sayang banget sama bunda, makanya ayah bela-belain datang dari Surabaya ke sini demi kalian dan bunda kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinny
Teen FictionKetika sepasang saudara kembar yang selalu bertengkar direkrut menjadi pemeran utama film romansa. Akankah mendapat feel dan chemistry sesama saudara kandungnya?