Keesokan harinya, kami bertiga pergi ke tempat teman bunda itu. Seperti biasa, aku naik mobil bersama bunda dan Pak Junet, sedangkan Mario naik motornya sendiri. Sesampainya di sana, sepertinya itu bukan rumah, ini seperti... tempat psikolog.
"Kita mau ke psikolog?" Tanyaku bingung sambil melihat-lihat sekitar.
"Yup," jawab bunda dengan santai.
"Emang kita gila?!" Celetuk Mario tak terima.
"Ih, otak kamu sempit banget, sih. Emangnya psikolog buat orang gila?!"
"Terus kita ngapain?"
"Udah, ikutin dulu aja. Pasti kalian ngerti."
Haduh, apalagi ini.
Kami bertiga masuk ke ruangan si psikolog ini.
"Selamat pagi, Bu. Saya Lina yang kemarin booking jadwal konsultasi."
"Oh, iya. Silakan duduk. Saya Amila, panggil saja Ibu Ami."
"Katanya temen bunda, kok baru kenalan." bisik Mario.
"Kalo gak gitu pasti kalian gak mau."
Ekspresiku dan Mario saling cemberut.
"Udah, kalian duduk. Ikutin apa kata Ibu Ami. Bunda tunggu di luar dan bunda harap keajaiban bakal dateng ke kalian ya." pesan bunda lalu keluar dari ruangan.
Aku dan Mario yang hanya bertiga dengan Ibu Ami merasa bingung harus apa dan bagaimana. Namun, tetap saja aku takkan bertanya kepada Mario, lebih baik aku sendiri.
"Sini silakan duduk."
Aku berjalan mendekat dan memilih kursi sebelah kanan. Sialnya, Mario juga memilih kursi sebelah kanan.
"Ngapain sih lu," tegur Mario kesal.
"Lah gue duluan."
"Gak!"
Aku langsung duduk di kursi itu tanpa basa-basi.
"Curang!"
Tiba-tiba Mario juga duduk di atasku.
"Ih, Io ngapain sih!" aku mendorong-dorong Mario yang duduk di pahaku.
"Masalah kalian cukup parah ya," ujar Bu Ami di tengah-tengah keributan.
Suasana menjadi hening seketika. Semua mata memandang Bu Ami.
Masalah apa?
"Kamu yang cowok udah ngalah aja. Sini duduk di kiri. Sama aja kok."
Mario pun pindah ke sebelah kiri. Tumben sekali ia nurut.
"Gini kan enak. Nama kalian siapa?"
"Maria, Mario," jawabku dan Mario secara bersamaan.
Kami langsung bertatapan.
"Lucu ya kalian. Kompak. Coba setiap hari kayak gini tanpa adanya perselisihan," senyum Bu Ami.
Impossible.
"Oke, aku tau kalian pasti sibuk. Jadi kita langsung to the point aja ya. Apa yang sering kalian berdua lakukan dalam keseharian."
"Berantem," jawabku.
"Lagian lu duluan yang--"
"Saya gak nanya siapa yang salah. Coba sekarang jelaskan secara rinci kenapa kalian sering bertengkar. Apa masalah yang sering jadi faktor kalian bertengkar?"
Kami berdua diam.
I don't even know why we were fighting.
"Gak suka aja," jawab Mario.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinny
Fiksi RemajaKetika sepasang saudara kembar yang selalu bertengkar direkrut menjadi pemeran utama film romansa. Akankah mendapat feel dan chemistry sesama saudara kandungnya?