Rasa yang Berbeda

1.4K 60 0
                                    

4 bulan kemudian, projek film kami hampir selesai dan sudah masuk tahap paska produksi. Artinya, tugasku dan Mario sudah selesai. Sekarang, aku dan Mario sedang bebas tak ada kerjaan. Hari ini, Fio mengajakku jalan. Aku hanya izin kepada bunda untuk pergi bersama teman SMA-ku, Fia karena jika aku izin pergi dengan cowok, mungkin ia takkan memberiku izin. Fio menjemputku di gang depan rumah karena aku tak memperbolehkannya menjemputku di rumah. Ia mengajakku pergi ke mall untuk menonton premiere film yang soundtrack adalah lagu yang Fio buat. Lumayan jauh, di Jakarta Timur. Aku ke sana naik mobil Fio yang super keren! Pintunya hanya ada dua dan kap mobilnya bisa terbuka otomatis. Sangat menyenangkan bisa jalan dengan musisi terkenal seperti dia.

Sesampainya di mall, banyak kamera yang menyorotku dan Fio. Aku hanya menutupi wajahku dari sorotan awak media.

"Kenapa ditutupin? Santai aja. Bakalan biasa kok nanti," saran Fio sambil berjalan dan menggandengku.

"Bukan, gue takut ketauan bunda sama Io," bisikku.

"Loh? Kenapa?"

"Ada deh."

Aku hanya takut mereka membahas tentang trauma itu.

Akhirnya aku dan Fio masuk ke ruangan bioskop di barisan yang telah disediakan dan duduk berdampingan. Kami menyaksikan filmnya dengan seksama. Banyak sekali orang yang mengantri untuk premiere dan menurutku filmnya cukup bagus. Pemerannya juga terkenal. Aku jadi khawatir bila setelah filmku keluar, yang menonton tidak sesuai dengan ekspetasi. Bagaimana ya caranya agar bisa terkenal dengan waktu singkat sebelum filmnya tayang di bioskop?

Selesai menonton, aku dan Fio pergi makan, tetapi tidak di mall itu karena aku tak ingin ada media yang menyorotku. Kami makan di restoran yang cukup jauh dari sana. Di restoran itu pun kami tetap berbincang. Ia bertanya tentang kehidupanku lebih dalam dan alasan mengapa aku takut bunda dan Mario tau. Akhirnya, aku pun terbuka dengan orang lain. Aku menceritakan keluh kesahku. Ternyata, bercerita dan mengungkapkan isi hati kepada orang lain itu menyenangkan dan melegakan. Aku juga bersyukur Fio mau menjadi pendengar yang baik.

Tak terasa sudah hampir 12 jam kami jalan. Ia memaksaku untuk turun di depan gerbang rumahku karena ia tak mau aku berjalan sendirian di malam hari yang gelap jika aku turun di depan gang. Ternyata ia sangat perhatian, bisakah aku mencoba menjatuhkan hatiku kepadanya? Apakah ia orang yang tepat untukku? Semoga jawabannya iya.

"Thanks for today, Mar. Semoga kita bisa hang out lagi, ya!" Ujar Fio sebelum aku turun dari mobil.

"Iya, Fi. Makasih ya." Aku memberikan senyum kepadanya lalu turun dan menutup pintu mobilnya.

Aku membuka gerbang lalu masuk dan menutupnya lagi.

"Duluan, ya," pamitnya lalu mengegas mobilnya.

"Iya, hati-hati," senyumku sambil mengunci gerbang.

Perasaanku bahagia seperti membuka kembali buku yang telah lama usam dan baru saja diwarnai dengan tinta berwarna.

Ketika aku masuk ke dalan rumah, bunda dan Mario langsung menoleh ke arahku dengan pandangan sinis.

Upss....

"Kok malem banget?!" Tanya bunda dengan nada tinggi.

"Ma...maaf, Bun. Tadi mau ngabarin hp aku mati."

"Emang kamu pergi kemana sih?"

"Premiere film, Bun. Itu supaya aku tau gimana kalo nanti filn kita udah keluar. Semenjak buat film kan aku gak pernah jalan lagi sama temen." pembelaanku.

"Tapi kan kamu bisa hubungin bunda. Emang si Fia itu gak ada hp?"

Aku tak mungkin meminjam ponsel Fio.

Suasana mendadak hening.

"Ya udah, terserah kamu deh." Bunda pergi ke kamarnya lalu mengunci pintu kamarnya.

Aduh, bunda pasti marah berat sama aku. Ya sudahlah, diselesaikan besok saja. Mungkin emosinya sudah reda.

Aku berjalan ke kamarku melewati Mario. Ketika aku ingin menutup pintu kamar, Mario mendorongnya dan memaksa masuk ke kamarku. Aku tau ia akan memarahiku, terlihat dari ekspresinya yang seperti ingin meledak.

"Iya udah, Mario Derafif. Maaf ya. Gak lagi-lagi pulang malem. Gak lagi-lagi pergi tanpa izin. Lagi pula gue udah izin sama bunda," ujarku sambil mencopot pakaian pergiku dan hanya memakai tanktop dan celana pendek.

"Fia itu siapa?"

Aku yang sedang melipat baju langsung terpaku.

"Fia itu siapa, Maria Derafia."

"Temen SMA."

Ia membuka ponselnya lalu menunjukkan layar ponselnya kepadaku.

Terlihat artikel dari akun gosip yang berjudul "Gebetan Baru Fio" dan di situ ada fotoku ketika Fio sedang menggandengku di mall juga fotoku dan Fio yang duduk bersebelahan di bioskop. Akun itu menuliskan namaku juga pekerjaanku sekarang, pemain film KARENA KAMU yang akan rilis beberapa bulan lagi.

"Mmm... Sorry. Gue juga mau jadi normal lagi. Gue mau tau apa itu cinta. Bunda sendiri kan yang bilang kalo umur segini kita harus tau apa itu cinta? Ya gue coba nyari tau. Lagi pula, menurut gue Fio orang yang cocok. Dia enak diajak ngobrol, dia baik, gak sombong. Kan lo yang kenalin gue sama dia."

Mario menutup pintu kamarku dan mendekat kepadaku.

"Kita lahir bareng, kita susah seneng bareng, kita tumbuh bareng, dan kita juga ngerasain trauma yang sama, tapi kenapa lu ngedahuluin gua masalah ini?"

"But... ya, I don't know. Sampe kapan kita mau kayak gini terus?"

Tiba-tiba Mario menjatuhkan badannya di atas badanku sambil mengunci kedua tanganku di atas kepalaku.

"MARIO!" Teriakku panik dan takut.

Aku berusaha melepas genggaman dan tindihannya, tetapi ia hanya diam dan menatapku.

"Can you just shut up?" Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, sangat dekat.

"Mario! What are you doing? I'm your twinny."

"Munafik!"

Tubuhku sontak terdiam dan mataku juga terpaku oleh tatapannya ketika ia mengatakan satu kata itu.

"Lu gak nyadar? Sejak awal kita baikan, gua gak ada rasa sama sekali kalo lu adalah kembaran gua, sama sekali gak ada. Emang kita deket, akhirnya kita juga selalu bareng-bareng, saling perhatian, juga saling sayang, tapi bukan sebagai keluarga. It's more than that. I hope you can be mine and we are always together, forever. No matter what does the people say. No matter if we are siblings. No matter anything, I love you more than everything."

Pandanganku seakan terkunci oleh matanya dan seluruh tubuhku terjerat kata-katanya. You feel it too, Mario?!

Ia melepas genggamannya lalu turun dari kasurku dan berjalan menuju pintu.

"Mario! I feel it too! Ini alesan kenapa gue deket sama Fio! Bukan karena mau membuka lembaran buku sama dia, tapi karena gue mau nutup lembaran buku sama lo. Gue mau ngalihin semuanya ke Fio karena gue gak mungkin sama lo! Sejak awal kita baikan juga gue gak pernah ngerasa kalo lo itu kembaran gue! Lo itu bukan saudara kandung gue. Gue berharap lo adalah orang lain. Supaya bisa gue milikin seutuhnya," ungkapku dengan air mata yang berlayar di pipi.

Mario menutup pintu kamarku lagi lalu langsung berlari ke arahku sambil memelukku erat.

Kami menangis sejadi-jadinya sambil berpelukan. Rasa ini sangat menyesakkan dada. Keadaan ketika kita tidak bisa memiliki seseorang karena segala aspek kehidupan melarangnya.

"Maria, gua punya ide."

"Talk to me, now."

Mario membicarakan ide yang menurutku super gila, tetapi aku setuju untuk menjalaninya.

TwinnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang