BAB 4 - Lembaran puisi

956 64 2
                                    

          "Vio, lo pulang bareng gue ya?"
Lionil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Viola yang berjalan mendahuluinya.

Gadis itu tak bergeming, dia tidak menghiraukan semua perkataan yang diucapkan Lionil.
Sampai akhirnya, ponsel Viola berdering nyaring. Cewek itu meraba saku celana jeansnya, lalu mengeluarkan benda tipis tersebut. Tanpa sadar bahwa sesuatu juga ikut terjatuh. Dia tak sengaja menjatuhkan selembaran kertas putih yang terlipat.

Mata Lionil refleks mengarah pada kertas itu. Kedua alisnya tertaut, kemudian dia menunduk, dan memungut kertas itu. Lalu membuka lipatannya, dan menemukan serentetan kalimat yang tertulis rapi. Pemuda itu tidak mengerti tentang apa yang Viola tulis. Entah puisi atau sajak, dia tidak bisa membedakannya.

Lionil duduk disalahsatu bangku area koridor kampus. Lalu membaca kalimat tersebut.

Jakarta sedang diguyur hujan deras, namun tak seluruhnya pudar. Jakarta tak semuanya buyar.
Masih ada sejentik bekas-bekas keraguan walaupun ragaku sudah sepenuhnya lepas dari kota yang penuh dengan sejuta cerita culas.
Yang suka memantik kenangan hingga menjelma jadi rindu.

  Malam kali ini, aku berniat menulis    sesuatu untuk belajar melupakan.
Menulis apapun, menulis sebuah
cerita baru.
Menghapus segala bentuk kenangan yang melekat kuat dalam ingatan.
Tapi apalah daya, seberapa kuat melupakan, kenangan selalu punya cara untuk menggerogoti jiwa.

Dan lagi-lagi aku kalah telak.
Jemari-jemari ini tak bisa menuliskan cerita lain, bergerak menuliskan sesuatu pada secarik kertas putih, mengeja rindu yang tak ada habisnya.

Rindu tentangmu, katanya.
Deretan cerita yang dibuat untuk membuatmu bersemanyam walau hanya sebatas keinginan. Karena kamu hanya ilusi yang dibangun hati.

Kamu adalah alasan dimana bagiku, perpisahan adalah hal terburuk yang pernah Tuhan limpahkan.

Kamu adalah alasan dimana bagiku, dekapan hangat mu adalah candu yang dibutuhkan ketika beban menjatuhkan.

Kamu adalah alasan dimana bagiku, senyum dan tawamu adalah hal istimewa yang aku butuhkan untuk sekedar hidup dan berjuang menjalani kehidupan.

Tapi nyatanya, semesta tak pernah mengizinkan kau dan aku untuk menjadi satu.
Semesta punya rencana yang menurutku luar biasa menyakitkan, karena membuatku terluka begitu dalamnya, dan hancur, sehancur-hancurnya.

Terluka, tak berdaya, dan tidak baik-baik saja.
Kata-kata yang menggambarkan situasi ketika dirimu perlahan menghilang.

Kau tau apa yang sedang kulakukan sekarang?
Memungut serpihan-serpihan kenangan hanya untuk mengenang, bahwa setidaknya kita pernah saling membahagiakan.

Aku rela asal garis lengkung dibibirmu selalu tercipta setiap harinya—walau nyatanya aku bukan alasan dibalik semua itu.

Tanpa sadar, ujung bibir Lionil tertarik membentuk senyum. Senyuman tulus yang benar-benar manis. Mengalahkan manisnya gula sintetis.
Kenapa dia baru tahu jika Viola pandai membuat tulisan semacam ini.

Entah kenapa, dia merasa bahwa untaian kata di dalamnya tertuju untuk Lionil yang pernah meninggalkan Viola dengan banyak kenangan yang masih membekas. Dengan banyaknya luka masa lalu yang masih tersimpan baik dalam ingatan.

Dia pemuda bodoh yang rela meninggalkan gadis sebaik Viola demi gadis lain yang baru di kenalnya.

Dalam hati, Lionil sangat menyesali perbuatannya.

Dia segera bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan menyusuri koridor untuk mencari Viola.

Saat dia menemukan gadis itu, ternyata Viola sedang mengobrol dengan Bara—cucunya Datuk Maringgih. Si jangkung yang super pelit.

Dari kejauhan, Lionil bisa melihat jika Viola memberikan kotak bekal untuk pemuda itu. Entah apa isinya, Lionil harap isinya adalah roti kadaluarsa dengan toping belatung dan kecoa.
Cowok itu langsung menggelengkan kepala, menepis pikiran aneh itu. Membayangkannya saja sudah membuat ia bergidik jijik.

Lionil berjalan cepat mendekati Viola, lalu menggenggam pergelangan tangannya, dan mengajak cewek itu berjalan menjauhi Bara—yang saat ini sedang menatap takjub pada sekotak bekal berisi sandwich.

Lumayan, irit uang. Pikir Bara.

Viola memberikan sandwich bukan tanpa sebab. Anggap saja itu adalah ungkapan terima kasihnya karena Bara pernah meminjamkan uang beberapa hari yang lalu. Walau sebenarnya Bara tak mengharapkan imbalan apapun.

"Lo kenapa sih? Ribet banget jadi cowok!" Viola menepis tangan Lionil, lalu sedikit mendorong dada bidang cowok itu.

"Gue mau balikin ini." Katanya seraya memberikan selembaran kertas yang sudah terlipat.

Melihat benda itu, Viola membulatkan matanya, dia meraih kertas tersebut, dan langsung memasukan dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

"Itu buat gue kan?"

"Sok tau!"

"Lo masih ada perasaan sama gue? Sama dong kayak gue. Mending kita balikan aja."

Bugh!

Viola memukul pundak Lionil sekuat tenaga, sekalian balas dendam karena dia pernah sakit hati dengan ulahnya.

"Gue gak mau jadi orang bego lagi!"

"Maksud lo?"

"Gue bego karena pernah pacaran sama lo! Buang-buang waktu tau gak?!"

"Kok lo ngegas?" Lionil tersenyum, jenis senyuman tengil yang paling Viola benci.

"Suka-suka gue lah! Mulut-mulut gue, mau gue monyong atau apa kek, bukan urusan lo!"

Lionil tersenyum—setengah tertawa, rasanya sudah lama ia tidak berdebat dengan gadis ini.

"Minggir! Gue mau pulang!" Dia berjalan melewati Lionil yang masih setia menatap punggungnya yang semakin menjauh. Sampai akhirnya, aroma vanilla menyeruak masuk dalam indera penciumannya.

Wangi yang dia rindukan setelah sekian lama.

***






01.00 menuju malam" gabut😪

Note :
Aing ga pinter buat sajak:v jadi maklum klo jelek muehehe

👆Vomment yeuh👆


With Love,
pacarnya Jungkook.

To Love From The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang