3 Elsa

81 1 0
                                    


"Wuih, banyak amat obat yang harus, kamu minum nih."

Hafis menyodorkan kantong yang berisi obat dan vitamin dari rumah sakit.

" Iya, kan biar anak dan ibu sehat," sahut Elsa

" Iya, Sayang sebentar, ya aku ambilkan air putihnya," Hafis ngeloyor ke dapur untuk mengambil air putih.

Elsa meminum semua obat obatan. Menahan rasa mual dan eneg yang menyeruak ke dalam ketenggorokan.

"Uweekk. "

"Sabar ya, Sayang.." tatapan mata Hafis iba.

Elsa hanya mengerjapkan mata.
Menahan sesuatu di mulut dan tenggorokan. Mengangguk pada suaminya yang masih menatapnya serba salah.

"Eng.. aku enggak apa-apa, Mas," Elsa balik menatap suaminya.

"Ya, udah nanti bareng aku aja berangkatnya," Hafis mendekat.

Melingkarkan tangan ke pundak Elsa. Duduk di samping istri yang amat dicintainya itu.

Sebenarnya Hafis tak tega dengan keadaan Elsa. Sempat meminta untuk cuti sementara atau tidak perlu bekerja saja. Tapi Elsa meolak menurutnya dia masih kuat. Lagi pula, nanti mengurangi jatah cuti saat dia melahirkan.

Elsa memiringkan kepala agar bisa bersandar di pundak Hafis. Hafis segera mengusap rambut dan menepuk dengan lembut lengan Elsa.

Saat seperti ini tak ada rasa lelah maupun sakit dirasakan Elsa Tenang dan nyaman.

Kehamilan ini membuat mereka semakin bahagia setelah menunggu selama tiga tahun.

Memang awalnya Elsa menunda kehamilan karena alasan karir dan belum siap untuk menyambut si kecil. Dengan sabar Hafis menanti kesiapan Elsa.

Dua tahun berlalu Elsa tak juga bersedia punya momongan.

"Tunggu, ya kayaknya aku masih takut," suatu ketika mereka bicara di malam hari sebelum tidur.

"Tapi kenapa, Sayang?" tanya Hafis dengan hati-hati.

"Hm ... aku bayanginnya aja kok masih belum siap gitu. "

"Ya kan nanti bisa kok, aku yakin semua orang juga melewati proses, Sa " sahut hafis. Tangannya tak berhenti membelai lembut rambut Elsa.

"Aku takut enggak bisa jadi mama yang baik. Terus kayaknya repot banget gitu, Yang."

" Ya kalau, kita mikir seperti itu terus enggak akan ada ujungnya, Elsa enggak akan pernah siap."

"Kamu, udah pengen banget?" Elsa menatap mata Hafis yang teduh.

" Iya, Sa aku kangen anak kecil, mungkin rumah ini akan ramai, seru," mata Hafis berbinar saat mengungkapkan keinginan memiliki anak.

Seakan membayangkan akan mendapatkan mainan yang lama diidamkan.

Elsa jadi terenyuh tak tega . Melihat suaminya seperti itu. Mendambakan kehadiran si kecil dan Elsa terus saja menunda dengan alasan yang tak masuk akal pula.

Elsa mendekat. Diluruskan lengan suaminya yang tadi tertekuk ke belakang kepala. Meletakan kepalanya pada lengan kekar Hafis dan menatap lekat-lekat mata jenaka itu.

"Iya deh .. Mas aku mau," mata Elsa menatap suaminya. Ingin tahu reaksi selanjutnya.

Hafis melonjak terkaget-kaget. Memiringkan posisi tidurnya menghadap Elsa. Dan mendekap erat.

"Serius, Yang?" tanyanya meyakinkan bertanya dengan sumringah.

"Ih, iya .. ya aduh lepasin sakit tau," Elsa mendorong kepala suaminya. melepaskan dekapan tangan yang terasa terlalu kuat.

ElsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang