***
Mata sayu itu kembali menatap Dokter Bagas. Mendengarkan penuturan dokter berusia sekitar 27 tahun itu dengan seksama.
"Benar jika seseorang terindikasi ada kelainan darah, mengidap sifat pembawa thalasemia seharusnya tidak menikah dengan orang yang sama."
"Setidaknya ketika, kita mengetahui hemoglobin yang rendah maka periksakan lebih lanjut."
Entah yang keberapa kali bertemu dengan dokter Bagas. Dokter yang bertugas menjelaskan di klinik eijekment.
"Dari hasil pemeriksaan suami Ibu, dia juga memiliki darah pembawa sifat thalasemia, selanjutnya kita akan periksa janin."
Elsa sudah memprediksi dari awal. Karena diam-diam mereka memeriksakan darah Hafis di laboratorium dekat rumah dan hasilnya hemoglobin Hafis hanya 8.
Berhari-hari pula Elsa menumpahkan air matanya. Jika kini mendapati informasi dari dokternya air matanya telah mengering. Dia hanya ingin mengumpulkan sisa-sisa hatinya yang berserakan.
Kepingan-kepingan yang sulit sekali terkumpul menjadi utuh. Bahkan sudah tak dirasakannya lagi, tatapnya kosong. Wajahnya kuyu.
Serangkaian pemeriksaan dilakukan mulai dari pengambilan cairan ketuban, sum-sum tulang belakang. Semua itu sesungguhnya terasa amat sakit.
Tetapi, jauh lebih sakit jika harus kehilangan anak dan suaminya.
Mengetahui bahwa anak yang di kandungnya memang menderita thalasemia mayor.
Saran dokter, agar janin digugurkan, tidak mereka lakukan. Keduanya sepakat menolak pengguguran.
Karena itu sebuah kesalahan. Biarlah hanya Tuhan saja yang boleh mengambilnyaElsa akan merawatnya dengan sebaik baiknya. Sebuah tanda cinta bersama suami. Laki-laki yang dipujanya selama tiga tahun terkhir. Tak ada nama lain di hatinya. Bahkan bayangannya sendiri sudah berganti dengan sosok Hafis
Walau kini berubah menjadi dingin. Itu karena Elsa sangat mencintai suaminya. Cinta yang tak dapat diungkapkan dengan apa pun. Tak dapat diwakilkan dengan benda apapun.
Sejak dia mengetahui keadaan janin yang dikandungnya. Elsa lebih suka dengan dunia sunyinya. Mengurung diri di kamar.
"Sa, kita tak perlu seperti ini".
"Itu enggak mungkin, Mas."
"Kalau kita mau, pasti bisa!"
"Terus bagaimana dengan yang dokter bilang? Seharusnya, kita tak menikah."
"Elsa, nyatanya kita suami istri."
"Sudahlah, Mas aku mohon tinggalkan aku sendiri."
Hafis Tak bisa memaksa jika sudah melihat Elsa menangis. Menutup wajahnya dengan bantal. Menepis tangannya saat mengelus rambut istrinya itu yang selama ini diinginkan Elsa.
Hafis harus menjaga emosi Elsa mengingat kandungan nya memasuki bulan kelahiran.
Dia tahu apapun yang dilakukan untuk membujuk Elsa akan sia-sia. Hafis akan mengalah setidaknya menungggu setelah kelahiran anaknya.
Diam-diam hafis selalu mengikuti gerak-gerik Elsa saat malam. Elsa sering Tahajud di ruang terpisah.
Hafis selalu mendengar, diam-diam mengikuti Elsa ke kamar mandi pada jam 2 pagi untuk sujud yang selalu berakhir dengan tangisan.
Tak terasa dia pun sering menangis. Dengan segenap kemampuan mengutakan hatinya sendiri. Berserah pada yang maha berkehendak adalah jalan terbaik.
Hingga saatnya tiba, bayi mungil itu lahir, "Brenda " Elsa menginginkan nama itu.
Dengan penuh haru menyambut kelahiran Brenda. Bayi perempuan yang lucu. Kulitnya kemerahan, cantik seperti ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elsa
RomanceKeadilan Allah akan terasa nyata manakala sebagian hambanya justru sedang diuji. Rahmat-Nya akan terasa nikmat justru setelah seseorang kehilangan apa yang dianugrahkan. Saya sedang tidak ingin menggurui, hanya pengingat diri seberapa besar diri i...