Matanya menatap lurus ke arah cermin, tangannya sibuk menyisir rambutnya yang panjang. Sebenarnya ia sempat ingin memotong pendek rambutnya tapi Awan melarangnya, katanya Reina lebih cantik dengan rambut panjang.
Reina mengerutkan kening saat melihat matanya yang bengkak, dari kemarin air matanya terus keluar sendiri setiap mengingat Senja. Semenjak pembicaraan di balkon hari sabtu kemarin Reina tidak pernah berbicara dengan Senja lagi, ia benar-benar belum siap menghancurkan hatinya sendiri di depan cewek itu.
Dengan cepat Reina meraih bedak lalu mengoleskannya sedikit di bawah mata, guna agar matanya tidak terlihat seperti habis menangis.
Reina kemudian meraih tas ranselnya dan mengaitkannya di belakang punggung, kemudian keluar menuruni tangga dan menemui kedua orang tuanya yang sedang makan di dapur.
Ibunya menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan pada Reina untuk segera duduk dan bergabung untuk makan bersama, "dari kemarin kamu di kamar terus? Oh iya, Awan jemput kamu kan hari ini ?" tanya ibunya.
Reina mengendikkan bahu, ia tidak tahu apakah Awan akan menjemputnya atau tidak yang pasti kalau sepuluh menit setelah ia makan Awan belum datang, berarti cowok itu tidak datang. Dan kalau Awan tidak datang, itu berarti Reina harus siap di antar oleh ayahnya ke sekolah.
"Oh iya, kamu sama Awan itu pacaran ?" tanya Ayahnya.
Reina hampir memuntahkan sesendok nasi goreng dari dalam mulutnya, kenapa gosip itu sudah sampai di telinga orang tuanya sendiri? Ia langsung saja meneguk segelas air untuk menenangkan dirinya.
"Nggak kok ayah, Awan sama Rei cuma temen." Reina membela diri.
Ayahnya mengangguk-angguk lalu melanjutkan makannya.
"Kenapa nggak pacaran aja sama Awan, anaknya baik loh Re."
Pertanyaan yang dibarengi dengan pernyataan itu bukan keluar dari mulut ayahnya melainkan dari ibunya yang kini sedang menatapnya serius.
"Ih Ibu, Rei itu gak suka sama Awan." Celetuk Reina.
"Terus suka sama siapa ?" timpal Ayahnya.
"Ih ayaaaaah."
***
Reina memperhatikan senja yang sedang berjalan ke arahnya, awalnya ia ingin beranjak pergi sebelum cewek itu berdiri di hadapannya. Tapi Reina sadar, Senja tidak salah sama sekali. Apa salahnya kalau sahabatnya itu menyukai Dimas, toh Reina juga bukan siapa-siapa.
Cewek itu berjalan pelan sambil terus tersenyum, Reina yang tidak tega akhirnya juga menyunggingkan senyumnya yang sedikit masam.
"Seharian kemana aja lo ? Gue telpon kagak diangkat." Sambar Senja saat tiba di hadapan Reina. "Padahal semalam gue lempar kerikil loh ke jendela kamar lo." Tambahnya.
Reina tertawa paksa."Oh itu, jadi kemarin itu gue lagi gak enak badan."
"Loh, kok gak bilang ke gue, sih !"
"Udahlah, lagian sekarang udah sembuh Ja." Ujar Reina sambil mendorong punggung Senja untuk berjalan bersama.
Senja hanya bisa tertawa melihat kelakuan sahabatnya itu, Reina memang selalu bisa membuatnya tertawa dengan cara yang berbeda.
Kini mereka duduk di kantin sambil berbicara satu sama lain. Reina kini sudah bisa memposisikan dirinya, ia tidak lagi marah kepada sabahatnya ini karena bagaimana pun hanya Senja yang selalu siap mendengar cerita-ceritanya.
"Awan sama Dimas itu baik yah sama lo ?" sahut Senja sambil mengaduk-aduk sedotan pada jus jeruknya.
Reina membulatkan mata, serasa dadanya sesak saat mendengar nama Dimas. Kenapa juga Senja harus membahas cowok itu di waktu yang sama sekali tidak tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas dan Reina
Teen FictionAda kenangan di sudut sekolah di saat hujan yang harus lo inget dan simpen baik-baik- Dimas