Satu titik tiga

36.4K 3.6K 159
                                    

Vote dulu, lalu baca.
Baca dulu, lalu berkomentar.

***

Sailendra memandang sang istri yang telah pulas pada peraduannya. Messy hair membuat Sasha terlihat lebih seksi di matanya. Ah, dan jangan lupakan hasil karya yang telah ia buat beberapa puluh menit yang lalu.

Sailendra menjalankan tangannya untuk menyentuh pinggiran strap bra Sasha. Membawa jari kurusnya lebih jauh menyentuh warna kemerah-merahan di sana-sini. Leher, tulang selangka, atas dada, dan di sekitar payudara.

Sailendra tersenyum sendiri kala ia ingat apa yang hampir mereka lewati malam itu. Awalnya, Sailendra amat yakin dia bisa melewati dengan sempurna malam pertama mereka. Namun nyatanya, istri ajaibnya malah membuatnya harus mengakhiri kegiatan itu bahkan sebelum masuk permainan utamanya.

.

.

"If you feel that i am hurting you, tell me to stop, ya."

Sailendra memulai menyentuh kulit Sasha bersamaan dengan ciuman basah yang ia tinggalkan pada bibir, wajah, dan terus berjalan menurun hingga perlahan menuju rahang gadisnya, leher dan gerakan lambat namun pasti itu berhenti pada dada Sasha. Sasha didn't understand what he was doing, but it was like a suck, deep suck. Hingga meninggalkan warna seperti memar.

A moan.

Sasha moaned, hanya untuknya. Itu membuat Sailendra bersemangat. "Len ... dra... Hgh..." Suara tertahan Sasha yang sarat akan getaran kembali terdengar mengisi ruangan hening itu, kala Sailendra licked the middle of her chest. Sailendra ingin mendengarnya lagi, lagi dan lagi.

Sailendra membuat tanda kepemilikannya, cap stempel resmi dari Sailendra untuk Ny.Sailendra. Selagi mulutnya bekerja, tangan Sailendra-pun tak mau kalah, tangan itu menyusuri ringan kulit putih Sasha mulai dari payudara, terus bergerak menuju perut dan sedikit berlama-lama di sana hingga ia mejalankan ringan jari telunjuknya pada pinggir karet celana piyama Sasha. Ringan, seringan kapas.

Tangan Sailendra sudah akan melanjutkan pekerjaan pada tahap selanjutnya; menurunkan perlahan celana itu. Sedikit, dari ujung matanya ia sudah melihat warna panties yang dipakai Sasha; pink fanta, sama dengan warna branya. Tetapi, ketika ia akan menurunkan lebih jauh, tangan gemetar milik Sasha menahan tangan Sailendra yang di kulit Sasha terasa sangat panas.

Tangan itu berhenti bergerak, mulutnya pun berhenti berkerja, menaikan kepala menatap Sasha heran dengan mata jika bisa berubah warna maka sudah pasti berubah, mata itu tajam dan penuh terselimuti gairah yang sudah di puncak dan siap meledak.

"Kenapa? Mas nyakitin kamu?" Tanya Sailendra dengan suara pelan dan lebih berat dari suara aslinya.

Sasha menggeleng, sungguh suaminya memperlakukan ia dengan sangat baik, ah ralat luar biasa maksudnya, tapi "... Mas ... Aku, Sasha ... Mas ..."

Sailendra memejamkan matanya mengais serpihan kewarasannya, kemudian setelah bisa menenangkan dirinya sendiri, pria itu membuka matanya perlahan menatap mata Sasha lembut, mengusap peluh yang telah membasahi wajah Sasha, "Kenapa?" Tanyanya lagi.

Sasha menarik dan menghembuskan nafasnya beberapa kali, ia membalas tatapan Sailendra, tangannya ia gerakkan untuk menggenggam tangan Sailendra yang ada di wajahnya, "Minggu depan kita masih ada resepsi di Jakarta. Aku pernah dengar, aura pengantinnya akan berkurang kalau aku ... kita ... sudah begitu, jadi, Mas ... nanti aja boleh? Setelah resepsi di Jakarta selesai?" Sasha mengatakannya dengan cepat walaupun sempat tergagap sesaat. Sungguh, ia pernah mendengar uwak-uwak tetangga rumahnya ketika kondangan dan melihat si pengantin wanita tak sebersinar pengantin lain kata mereka, lalu mereka berbisik dan mengatakan mungkin sudah tidak gadis lagi. Karena dari yang dia dengar, aura perempuan yang masih gadis dan sudah tidak gadis itu berbeda.

THE WAY WE GET BY  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang