Biola

3.6K 242 3
                                    

Suaraku hampir habis karena terlalu lama teriak-teriak. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa ku sumbangkan. Aku memang dilahirkan tanpa bakat olahraga. Jangankan memainkan bola di kaki, menangkap bola dengan tangan saja aku kesulitan. Bahkan, sekadar berlari saja, aku pasti paling belakang dan itupun tertinggal sangat jauh.

Dan itulah kenapa Pak Darsono adalah guru yang paling aku benci, karena dia selalu memberiku nilai yang jelek! Tidak terlalu jelek sih, tapi nilai terbaikku cuma tujuh, meski nilai ujian teoriku sama sekali tidak buruk.

"Tak ada gunanya nilai teorimu bagus tapi prakteknya nol! Ini pelajaran olahraga, bukan sejarah." Itu adalah kata-kata yang pernah kudengar dari Pak Darsono. Kata-kata yang membuatku membencinya.

Tapi setidaknya, aku masih bisa menyumbangkan teriakan penyemangat untuk Imron. Dia adalah striker untuk kesebelasan SMA kami. Tubuhnya yang kecil namun lincah dan tak punya lelah itu memang pas untuk meliuk-liuk di sela-sela pertahanan lawan.

Ironi memang, meski Imron jago bermain bola dan merupakan tumpuan tim, tapi dia tidak bisa masuk dalam anggota predator. Tentu saja, karena syarat menjadi predator bukan sekadar jago olah-raga. Dan perbedaan itu makin nampak saat permainan usai.

Seolah ada jurang pemisah, Imron nampak lesu dan melangkah menuju ke arahku. Dia memang tak pernah bergabung dengan para predator usai permainan.

Ku tepuk pundaknya yang basah kuyup oleh keringat sambil memberinya sebotol air mineral.

"Masih ada leg kedua kan?" aku berusaha menghiburnya. Kami kalah 1-3.

"Seharusnya kita bisa menang," kata Imron lesu. Tak seperti biasanya, tak ada senyum khas di wajahnya. Aku merasakan ada yang hilang darinya.

"Tapi mereka mainnya emang bagus kan?"

"Bukan mereka yang main bagus, tapi kita yang kehilangan playmaker." Imron menatap jauh ke arah teman-teman se-timnya.

Aku mengikuti tatapannya. Yang kulihat, semua pemain nampak lesu termasuk Yosep.

"Kalo ada Ikhsan, kita pasti menang."

"Ikhsan?"

"Iya. Dia playmaker kita. Dia yang bisa menghidupkan permainan." Imron kini menatapku. "Kamu lihatkan tadi, bola susah banget keluar dari daerah kita. Biasanya Ikhsan yang bisa bawa bola hingga ke jantung pertahanan lawan. Dan operannya akurat banget, dan itu membuatku mudah mencari posisi untuk menyerang lawan."

Aku masih bengong keheranan. Tentu saja aku heran karena ku pikir, Imron tak pernah suka sama Ikhsan dan kawan-kawannya.

"Ikhsan?" kuulangi kata pertanyaan yang sama. Ada sedikit nada tak percaya pada suaraku.

Tiba-tiba aku menemukan kembali senyum khas Imron. Dia tersenyum padaku.

"Aku maksain main bola di tim ini karena Ikhsan yang ngajak."

Sepertinya, wajahku masih menampilkan ketidak-percayaan hingga Imron pun berusaha menjelaskan.

"Ikhsan pernah lihat aku lagi dribbling bola, trus dia ngajak aku masuk tim. Tentu aja yang lainnya nolak, dan aku juga gak yakin bisa main sama mereka tapi akhirnya dia bisa meyakinkan teman-temannya dan juga aku. Dan kita berdua jadi duet maut!" Imron terkekeh. Wajah lesu itu kini hilang dan berubah menjadi wajah khas Imron.

"Trus, kemana dia sekarang?"

Tiba-tiba dia menatapku dengan wajah keheranan.

"Malah aku mau nanya ke kamu."

"Hah... Aku?" karena herannya, aku bahkan menunjuk mukaku dengan telunjuk.

Imron diam sejenak seperti sedang berpikir.

Inikah Cinta? [Just a Love Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang