Jagoan Pemberani

3.9K 304 13
                                    

Satu pelajaran yang selalu membuat ruang kelas menjadi heboh adalah Seni Budaya. Bukan karena pelajaran Seni yang berarti kebebasan berekspresi, tapi memang guru Seni Budaya, Pak Firman, adalah guru yang paling menyenangkan. Bahkan, buat orang seperti ku yang tak memiliki bakat seni sekalipun, tetap saja selalu terhibur dengan cara mengajar Pak Firman.

Seperti saat ini, tiba-tiba kelas menjadi riuh. Semua berawal saat Pak Firman ingin mengadakan pentas seni di sekolah. Masing-masing kelas, harus mengirimkan satu kelompok yang harus menampilkan kreasi seni.

Di setiap kelas, Pak Firman akan memilih dari beberapa grup yang layak mewakili kelasnya. Dan seperti biasa, Pak Firman membebaskan semua murid untuk menentukan kelompoknya sendiri-sendiri dengan maksimum jumlah anggota delapan orang. Bahkan Pak Firman belum bilang mulai, murid-murid sudah mulai berhamburan membuat kelompok. Aku bukannya tak suka, hanya saja, aku lebih senang jika aku tak masuk dalam kelompok yang terpilih. Tapi masalahnya, pentas seni ini akan menentukan nilai pelajaran Seni Budaya.

"Ris! Sini!" Niko yang sudah ada di salah satu sudut memanggilku. Di sekelilingnya sudah berkumpul beberapa murid, kurang satu orang lagi di kelompoknya.

Tentu saja, semua pasti berebut menjadi satu kelompok dengan Niko, murid multitalenta. Tapi menurutku, itu bukan ide yang bagus, karena kemungkinan besar kelompoknya akan terpilih dan aku tak ingin ikut terpilih. Aku benci panggung!

"Ris! Buruan sini!" Niko memanggilku lagi dengan tak sabar. Sekali lagi, aku tak bisa menolaknya dan akupun menyeret tubuhku menuju Niko.

"Kita udah delapan orang!" seru seseorang tiba-tiba.

Ternyata Lili. Wajah Lili dipenuhi senyum kemenangan karena berhasil berada satu kelompok dengan Niko mendahuluiku.

"Oh...," sahutku sambil mataku menghitung jumlah anggota. Kulihat Niko juga menghitung jumlah orang yang mengerubutinya dan menatapku penuh kekecewaan.

"Ya udah, gak apa apa Ris. Sembilan orang juga gak apa apa," kata Niko.

"Gak bisa dong! Pak Firman kan bilang maksimal delapan orang!" sambar Lili.

"Gak apa apa lah Nik, aku sama kelompok lain aja."

Kulihat wajah Niko nampak cemberut. Berbanding terbalik dengan wajah Lili yang sumringah.

"Haris, kamu kelompok mana?" tiba-tiba Pak Firman memanggilku.

Aku langsung mencari-cari kelompok yang masih kurang.

"Nah, itu kamu bareng Nugroho yah. Kelompoknya kurang satu orang lagi," perintah Pak Firman.

"Iya Pak."

Aku langsung menuju salah satu sudut di mana Nugroho berdiri. Nugroho cuma tersenyum menyambutku. Dia memang orang yang sangat kalem.

Saat itu, sekilas kulihat Niko memandangi kelompokku dengan wajah penuh kekecewaan. Aku cuma bisa melempar senyum yang artinya kurang lebih, "aku nggak apa apa."

**

Niko masih diam sejak pelajaran Seni Budaya. Aku jadi heran, masa iya dia masih kecewa gara-gara pembagian kelompok tadi? Bahkan sampai bel pulang berbunyi, Niko tak juga bicara seperti biasanya.

"Woi, Nik. Kamu sakit?" tanya ku saat membereskan tas ku.

Niko cuma menatapku. Aku gak tahu maksud tatapannya, tapi kulihat masih ada sedikit kekecewaan di wajahnya.

"Hmm, aku duluan deh kalo gitu," kataku akhirnya sambil melempar senyum dan menuju pintu kelas.

"Ris!" tiba-tiba Niko memanggilku.

Inikah Cinta? [Just a Love Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang