Sebuah Ramalan

51 6 3
                                    

"Ramalanmu... "

"Tidak benar"aku menggeleng pelan.

"Tidak benar? Sungguh? " Kaori menghampiriku.

"Ramalan apa Kaori? " kakaknya itu duduk berlutut dekat Kaori dan memegang pundak Kaori.

"Tidak-tidak" Kaori meloncat ke atas ranjang.

"Benarkah?" kakaknya duduk di ranjang.

"Hmm.. " aku mulai merasa mengganggu mereka berdua.

"Ehh.. Kau.. " kakaknya Kaori menatapku lamat-lamat.

Aku hanya menggerakkan kepalaku pelan.

"Kenapa kak Hiroto? " Kaori bertanya pada kakaknya.

"Aku-"kata Hiroto langsung kupotong.

"Mungkin kakakmu sedang sakit" aku membaringkan Kaori agar tidur karena ini jadwal tidur siangnya.

"Sakit? " aku langsung menutup mulut Hiroto dengan tangan kiriku.

Dia menatapku dan melepaskan tanganku perlahan.

"Ya sudah Kaori sekarang tidur saja ya" Hiroto mencium dan mengelus kepala Kaori lalu menutup badan Kaori dengan selimut.

"Dah" Hiroto dan aku melambaikan tangan dan keluar dari kamar rawat Kaori.

Hiroto menutup pintu dan bertanya padaku.

"Ramalan apa yang di maksud adikku? " suaranya sangat lembut bagai suara anak kucing.

"Ra.. Ramalan...jadi begini adikmu meramal bahwa pagi tadi aku dan kau pasti ketemu, dan aku hanya ingin bercanda dengannya dan bilang bahwa ramalannya tidak benar" aku menunduk.

"Ohh begitu, apa kau itu Miwa? "
Dia memperhatikan ku.

"Iya bagaimana kau tau? " aku menggaruk rambutku yang tidak gatal.

"Kaori yang cerita, jadi intinya ramalan adikku itu benar ya? " dia tertawa kecil.

"Iya, kan tadi pagi aku tak sengaja menabrakmu" tanpa kusadari muka ku memerah.

"Dan buket yang rusak karena kau tabrak itu untuk Kaori" Hiroto mulai tertawa kembali.

"Untuk Kaori? " aku mulai merasa bersalah.

"Sudahlah jangan merasa bersalah, aku sudah memberikan buket bunga yang baru" Hiroto seperti bisa membaca pikiranku.

'Duarr' bunyi petir kecang membuatku terloncat, tambah lagi Hiroto malah memelukku.

"Ehh" aku melepas pelukan nya.

"Maaf aku sudah biasa memeluk adikku ketika ada petir, jadi respon saja" Hiroto kini seperti merasa malu.

Aku teringat sesuatu tiba-tiba.

"Bagaimana makanan yang di bawa suster itu? " aku hanya berpikir makanannya akan dingin.

"Itu hanya puding, jadi bisa dimakan kapan saja" Hiroto duduk di kursi tunggu.

"Owh kalau begitu aku pamit pulang dulu ya" aku berjalan ke arah pintu keluar tapi Hiroto mencegahku.

"Biarkan aku mengantarmu ke depan" Hiroto dan aku pergi ke depan rumah sakit.

Hujan deras mengguyur, aku melihat ke kiri dan ke kanan jalan.

Sepi. Tidak ada transportasi umum.

"Kau cari taksi? " Hiroto juga ikut celingak-celinguk.

"Iya" aku mengangguk.

Your Dreams Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang