Case 2 - File 1 : Jeritan Yang Tak Terdengar

188 38 14
                                    

Note: Terdapat konten kekerasan, darah, dan kata-kata kasar di dalam fic ini. Diharapkan kebijakan pembaca. Kalau kurang nyaman sebaiknya tidak dibaca :)


Case 2 – File 1 : Jeritan Yang Tak Terdengar


♫♫♫

Seorang pemuda berseragam berlarian di suatu ruangan disekolahnya yang sudah sepi. Nafasnya tersengal-sengal. Pandangannya sesekali beralih kebelakang dengan wajah yang ketakutan. Betisnya terasa luar biasa nyeri tapi tetap ia paksakan berdiri.

"Tolong aku!"

Seorang lainnya yang memakai kostum berwarna semerah darah dengan misterius menyunggingkan smirknya. Menatap orang didepannya yang sedang terseok lari ketakutan dengan kaki yang terus mengeluarkan darah.

"Siapapun! Tolong buka pintunya! Ada orang gila!"

Orang yang berkostum merah itu melebarkan smirknya. Langkahnya yang cepat tanpa harus berlari itu hampir mengejar pemuda didepannya.

"Teruslah menjerit minta tolong seperti itu hingga pita suaramu putus. Kau tau tidak akan ada yang menolongmu. Karena jeritanmu tidak terdengar."

"Seseorang tolong aku!" jerit pemuda yang sedang terluka itu. Suaranya sudah hampir habis, tapi ia berharap ada orang yang mendengarnya dan bergegas menolongnya, sebelum ia kehilangan nyawanya. Nyeri dibetisnya semakin terasa. Ia melirik kakinya. Tanpa perlu ia periksa dengan cermat pun ia tau kalau pada betisnya itu terdapat luka sobek yang besar. Karena pandangannya teralihkan pada kakinya, tanpa sengaja ia menabrak dinding yang ada didepannya. Pemuda itupun terjatuh dengan suara yang keras. Pengejar yang ada dibelakangnya tertawa dengan puas.

"Astaga benar-benar bodoh."

Pemuda itu semakin ketakutan. Matanya meliar mencari senjata disekelilinya, namun nihil. Tentu saja, apa yang bisa ia jadikan senjata di ruang musik seperti ini? Partitur musik? Ada bangku yang diperuntukkan untuk pemain upright piano disana, tapi ia tau sendiri bahwa ia sudah tidak bertenaga untuk mengangkatnya.

"Tolong! Jangan bunuh aku! Tolong!" mohonnya. Matanya sudah penuh dengan air mata.

Si penyerang itu mendengus remeh. "Mari kita bertaruh. Kalau sampai pagi kau masih bisa berteriak dan ada yang menolongmu, maka kau mungkin masih bisa hidup. Namun jika tidak ada yang bisa mendengarmu, maka tidak ada yang bisa menolongmu. Seandainya itu terjadi, kau pasti sudah kehabisan darah dengan luka sebesar ini."

"Tidak! Jangan!"

Orang berkostum itu tersenyum jahat. Ia berlari kearah pintu kemudian menutup dan mengunci pintunya, mengabaikan jeritan putus asa yang bercampur dengan rasa sakit itu.

. ♫

Daehwi memutuskan untuk berangkat tanpa kendaraannya. Di hari pertamanya kembali bekerja di kepolisian Korea, ia ingin mengisi paru-parunya dengan oksigen alami. Menyegarkan fikirannya sebelum berkutat dengan hal entah apa yang akan dia alami hari ini. Ajakan kakak sepupunya, Woojin untuk berangkat bersama saja ia tolak baik-baik.

Sembari bersandar pada halte bus, gadis itu mengenakan headsetnya seperti kemarin. Mendengarkan alunan piano Mozart dengan volume suara yang cukup keras hingga menutup semua suara disekelilingnya. Pandangannya beralih pada sekumpulan ibu-ibu yang berdiri tak jauh darinya tengah membicarakan sesuatu dengan wajah cukup serius. Mata Daehwi dapat menangkap raut cemas dan ketakutan pada wajah mereka. Karena penasaran, pelan-pelan Daehwi melepas headsetnya.

"Kau dengar? Katanya ada penyerangan lagi disekolah Illak."

"Benarkah?! Yaampun ini sudah yang ketiga kalinya."

Unheard VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang