Ketika Luna sampai di rumahnya, dia mendapati Artana masih terbangun, sementara Irham sudah tidur.
"Kenapa kamu nggak tidur? Ini udah larut banget."
"Kak, gimana soal biaya rawat ibu? Kakak kalau nggak punya uang, bilang ke aku, Kak."
Luna tersenyum mendengarnya. "Kamu cukup belajar yang bener, soal itu biar kakak yang urus," katanya sembari mengacak rambut Artana.
Di luar dugaannya, Artana menepis tanda sayang itu. Dia mengeluarkan ekspresi muak yang kental. "Aku bukan anak kecil lagi, stop bertindak seolah Kakak adalah orang tua aku, jangan kayak Ayah. Aku mau tau apa yang terjadi di keluarga kita, aku mau punya peran sendiri!" katanya panjang lebar.
"Kakak nggak mungkin biarin kamu ikut bertanggung jawab, kakak nggak mau sekolah kamu gagal. Kamu mau kuliah kan? Fokus dapet beasiswa, demi kakak, demi Ibu, bisa? Supaya nanti ibu bangun, dia bisa liat kamu udah jadi mahasiswi."
"Aku bisa ngebagi waktu buat itu."
Luna menghela napas panjang. Adiknya yang satu ini, benar-benar keras kepala dan naif. Semua anak seusianya tidak ingin dilibatkan dalam masalah keluarga. Kebanyakan seharusnya lebih memilih menjalani kehidupan sekolahnya dengan damai, karena semua orang tahu, kehidupan anak SMA bukanlah sesuatu yang patut diremehkan.
"Emangnya kamu mau ngapain?" tanya Luna lembut.
"Aku bisa kerja sepulang sekolah, kerja part-time." Artana mengatakan itu dengan percaya diri.
"Tugas-tugas kamu gimana?"
"Aku bisa kerjain itu waktu weekend. Weekdays-nya aku bisa kerja."
"Terus kapan kamu tidur? Kerja part-time bukan berarti kamu bisa kerja cuma dua tiga jam aja, Tana. Kamu tetep harus patuh aturan ketenagakerjaan, delapan jam sehari. Kamu bisa sakit. Lagi pula, nggak ada yang mau nerima anak sekolahan."
Adiknya itu terlihat ragu. "Ya, Tana, kan, bisa aja nyari kerjaan yang cuma dua tiga jam sehari. Pasti ada, kok. Aku bakalan berusaha."
Luna kembali menghela napasnya. "Terserah kamu, tapi kamu harus janji sama Kakak. Jangan sakit dan jangan sampai nilai turun, Kakak bakalan marah besar!" katanya dengan nada bercanda, namun dia memastikan bahwa Artana tahu dirinya benar-benar serius.
Artana tersenyum dan memeluk kakaknya erat. "Makasih udah percaya sama aku, Kak."
Dia balas memeluk Artana dan mengusap kepalanya. Anak ini, akan selalu keras kepala. Sesekali, setiap anak yang berjalan menuju dewasa perlu diberi suatu kepercayaan, supaya mereka tidak merasa bahwa mereka tidak cukup mampu untuk diberi tanggung jawab.
Kadang-kadang, hal itulah yang menjadikan mereka dewasa.
---
Arvi memasuki apartemennya dan melihat Sarah duduk menunggu di depan televisi. Begitu melihat suaminya pulang, Sarah langsung berlari kecil menyusulnya, memeluk tubuh tegap itu sepenuh hati.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arvi. "Maaf saya pergi nggak bilang."
"Aku kangen," kata Sarah.
Untuk pertama kalinya dalam akhir-akhir ini, Arvi merasa perasaannya kembali berbalas. Dia juga sangat merindukan istrinya.
"Udah malem, kamu tidur duluan. Nanti sakit. Saya mandi dulu," kata Arvi sambil menggiring istrinya memasuki kamar.
"Aku belum ngantuk," balas Sarah. "Kamu mandinya jangan lama-lama."
Arvi menyadari hal berbeda dari tatapan mata Sarah. Dia terlihat lembut dan secercah keriangan ada di dalam bola matanya. Arvi tentu tahu apa maksud Sarah. Dia memasuki kamar mandi sambil meneriakkan janji bahwa dirinya akan mandi hanya dalam waktu lima menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate Wife
RomanceDemi ibunya yang sedang terbaring dalam kondisi koma di rumah sakit, Arluna menerima permintaan Arvi dan Sarah, pasangan sempurna yang tidak kunjung memiliki keturunan, untuk menjadi ibu pengganti. Ketika Luna pikir tugasnya berhenti di sana, keluar...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi