Sarah memang menangis, tetapi tidak sampai mengurung diri di kamar seperti biasanya dan Arvi bersyukur karenanya. Arvi mendekati istrinya yang duduk di sofa depan TV sambil memainkan tabletnya, melihat data-data pekerjaannya.
"Kita nggak akan ke rumah besar?" tanya Arvi. "Kasian Luna sendirian, kenalan ke keluarga besar, ke Kakek."
Sarah mendongak menatap Arvi, tercetak jelas rasa keberatannya kembali ke rumah itu sejak kejadian tadi siang. "Aku nggak mau, kamu aja, Ar," katanya lesu sambil menatap kembali layar tabletnya.
Melihat istrinya masih sensitif, dia merasa bahwa tidak mungkin meninggalkannya sendirian seperti ini. "Yasudah, nggak apa-apa. Kita nggak perlu ke sana."
"Terus Luna gimana? Katanya kasian?"
Arvi mencium puncak kepala istrinya. "Saya lebih nggak tega ninggalin kamu." Sarah tersenyum mendengarnya. "Untungnya Papa belum pulang, nggak akan terlalu berat buat Luna. Di sana cuma ada saudara-saudara saya," lanjutnya.
Sarah mengangguk-angguk. "Makan di luar, yuk?" ajak Sarah riang. Arvi mengiyakan ajakannya.
---
Luna turun dari kamarnya menuju ruang makan. Di sana, meja makan yang dilihatnya sudah seperti di TV-TV. Panjang dan elegan, kursinya pun banyak. Tetapi tidak berlebihan seperti di TV yang isinya hanya satu dua orang saja. Hampir semua kursi itu penuh!
Sejak kapan orang-orang itu pulang? tanya Luna dalam hati. Melihat orang-orang tersebut, membuat perutnya mulas.
Suasana di meja makan tersebut cukup riuh. Beberapa remaja tanggung mengobrol dengan suara yang sedang, sementara para anak kecil ribut bukan main. Luna melihat sang Kakek yang duduk tenang di kepala meja, tampak tak terganggu dengan keributan itu. Mama terlihat duduk di sebelahnya, sementara kursi sebelah Mama kosong.
"Ma," panggil Luna ketika dia mendekati meja makan, menginterupsi omongan Mama pada Kakek.
Perutnya makin melilit ketika Mama mendongak, Kakek menoleh dan semua saudara Arvi menghentikan aktivitasnya.
Luna rasanya mau pingsan saja!
"Oh Luna, kamu lama turunnya," kata Mama tenang. Dia menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong.
Dengan lutut yang gemetar, Luna menduduki kursi itu. Dia memandang lilin yang ada di tengah meja, tidak sanggup mendongakkan wajah. Mama membuka lagi percakapan.
"Kek, ini Luna."
Mendengar perkenalan dirinya, Luna mendongak menatap Kakek. "Selamat malam Kek, saya Luna, saya—" tenggorokannya tercekat. Dia mau memperkenalkan diri sebagai siapa di depan seluruh keluarga besar ini? Ibu pengganti? Orang asing yang menyewakan rahimnya?
"Luna ini tamu Tante Vina," kata Mama kepada anak-anak yang kebingungan. "Mulai sekarang Luna tinggal di sini, jadi kalian harus bersikap baik sama dia. Paham?"
"Okeeeee, Tante Vin," jawab anak-anak serentak.
Kakek sepertinya sudah tahu fungsi dirinya di rumah ini, begitu pun seorang lelaki yang duduk di seberang Mama, yang terlihat cukup dewasa, dan cewek di sebelahnya juga. Mereka tidak ikut menjawab serentak.
Setelah itu, makanan datang dan anak-anak langsung mengabaikan Luna. Sisi sebelah kanannya kembali ribut dengan dentingan piring dan sendok. Sementara bagian kiri dan seberangnya tampak tenang, kumpulan orang dewasa.
Seseorang di sebelah kirinya mencolek lengannya. Luna menoleh. "Aku Riza," katanya pelan, sambil memamerkan deretan gigi-giginya yang rapi.
"Luna," balas Luna sambil tersenyum lebar, merasa nyaman dengan sapaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate Wife
RomantizmDemi ibunya yang sedang terbaring dalam kondisi koma di rumah sakit, Arluna menerima permintaan Arvi dan Sarah, pasangan sempurna yang tidak kunjung memiliki keturunan, untuk menjadi ibu pengganti. Ketika Luna pikir tugasnya berhenti di sana, keluar...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir