3: [Mars] Bukan Mars Partai

49 4 0
                                    

Manusia lebih menyukai rasa cinta dibandingkan fantasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manusia lebih menyukai rasa cinta dibandingkan fantasi. Meskipun keduanya menembus ambang batas imajinasi.

Manusia lebih mempercayai prosa cinta dibandingkan fantasi. Meskipun mayoritas telah jatuh berulangkali oleh cinta, berbanding terbalik dengan fantasi yang justru memabukkan hikayat hati.

Manusia lebih mengulurkan bintangnya untuk berburu cinta dibandingkan fantasi. Meskipun keduanya tak dapat digenggam dengan pasti. Iringan berdalih, tak usahlah menggenggam ketika terasa sudah cukup menembus nanti.

Manusia dan cinta, jangan samakan ia dengan fantasi.

Sebab cinta representasi ambang rasa, sedangkan fantasi ialah implementasi ambang frasa.

__________

Kini Marco harus mendatangi sendiri meja baca pengunjungnya yang terletak di balik kaca dekat tangga utama. Kian dekat tungkainya pada tujuan, daun telinganya semakin menangkap tawa tertahan tapi terdengar bagai orang kesurupan.

Tanpa mengintip, penjaga perpustakaan yang sedang menjalankan shift kerjanya dengan baik itu tahu siapa pelaku yang suaranya mengganggu hingga terdengar dari rak buku sastra berkode 800-an yang terletak di seberang sayap lantai ini. Pemuda itu cukup sering kemari dan tanpa sadar mendeklarasikan bahwa meja di sana tersedia khusus untuknya.

"Oh!–"

Mars mengisi mulutnya dengan udara hingga menggembung sesegera mungkin tatkala netranya melihat ujung sepatu Marco mendekati mejanya. Kata orang, cara itu ampuh untuk menghentikan tawa yang menyembur terus-menerus.

"Maaf. Sepertinya aku melanggar peraturan utama pada list nomor dua di sini hingga kau repot-repot menghampiri," lanjutnya.

Marco mengetukkan telunjuknya di atas meja, "kalau sudah tahu kenapa kau lakukan. Ah, tapi tidak biasanya kau cukup berisik."

"Ada sesuatu yang menghiburku."

Mars membuka halaman yang mengapit secarik kertas, kemudian dengan hati-hati pemuda itu menunjukkan dua sisinya–depan dan belakang–yang terisi bait tulisan tangan rapat-rapat.

Marco mengerenyit, "apa itu?"

Mars kembali menarik kertas tersebut ke dekat lengannya, "mungkin bagimu  ini aneh, aku mentertawai kertas usang yang telah menguning warnanya. Namun, sebenarnya di satu sisi ini aku yang menulis lalu ada orang lain yang membalas."

Pemuda itu kembali tertawa, kali ini lebih pelan cenderung hampir berbisik.

"Ya, apa pun itu aku selalu turut senang jika kau senang." Marco menepuk bahu Mars beberapa kali.

"Asal jangan melanggar aturan lagi," lanjutnya yang disahuti dengan anggukan ringan dari Mars. Ia hapal betul pembawaan Marco yang cinta mati dengan segala peraturan serta kedisiplinan.

Sang penjaga perpustakaan melirik mejanya, netra yang telah terlatih menangkap beberapa gadis melangkah menuju loket peminjaman.

"Baiklah, aku harus kembali."

Belum sampai ia berbalik sempurna, pengunjung setianya menahan dengan sebaris pertanyaan.

"Boleh aku bertanya?"

"Bukankah barusan kau sudah bertanya?"

Mars mengerjap sejenak, memberi jeda antara meruntuki kebodohannya atau mengutuk Marco dengan segala kelogisannya.

"Heish, jika tidak ada yang ingin benar-benar kau tanyakan, aku harus kembali ke meja kerjaku sebelum ada surat pengaduan keterlambatan pelayanan melayang di hadapanku."

"Sebentar—maksudku, kau telah lebih lama berkawan dengan ratusan lapis rak berisi buku. Menurutmu, apakah kutipan aksara di dalamnya memiliki kekuatan magis akan...."

Marco memiringkan kepalanya, Mars melirik apa pun di sekitarnya mencari kenyamanan sebelum melanjutkan kata setelahnya untuk melengkapi tanya.

"...cinta?"

Kali ini Marco yang sedikit tertawa, "sederhananya, kau jatuh cinta pada orang yang membalas bait prosamu?"

Mars menggeleng gugup, "tidak juga! Aduh, aku tak pernah pandai membuat pergerakan hati dengan logika ini seirama planet dengan orbitnya mengelilingi matahari."

Tangan Marco mengambil kertas yang telah menguning tersebut, netranya membaca singkat. Tak perlu memanggil Sherlock Holmes untuk tahu bahwa dilihat dari tulisannya sang pembalas aksara ialah seorang gadis–atau wanita.

"Well, di akhir kunjungan nanti kau kuizinkan untuk memilah daftar siapa saja peminjam buku ini. Jadi, selama menunggu segera pilah prosa terbaikmu untuk dikirimkan pada email pribadinya dengan cara yang lebih elegan."

Dengan sigap tanpa melihat apa reaksi Mars, Marco melangkah cepat menuju posisi yang seharusnya sebab pengunjung calon peminjam buku terlihat tengah melirik jam di tangannya dua kali. Tanda bahwa ia sedang dikejar waktu dan ingin segera meninggalkan tempat ini.

Di mejanya, setelah berpikir cepat, Mars menyalakan laptop dan memeras otak kirinya untuk menciptakan barisan prosa terbaik untuk seseorang bernama Venus.

Boleh saja Marco berkata bahwa mengirimkan balasan melalui email menjadi cara paling elegan untuk bertegur sapa, menjalin hubungan. Sebab, manusia biasanya menggunakan email untuk hal-hal bersifat serius. Mengirimkan tugas kepada dosen misalnya.

Berbeda dengan mereka yang lebih memilih jalur chatting, biasanya manusia seperti itu ingin membuat self-branding yang ramah, easy going, dan menyediakan dirinya untuk dihubungi kapanpun.

Namun, Mars memiliki caranya sendiri.

Menunjukkan sisi romantisnya sebagai pemuja diksi.

__________

(a.n) Antara judul dengan alur di part ini seolah nggak berhubungan, tapi sangat berhubungan untuk part setelahnya yang mana mereka akan lebih mudah untuk menjalin komunikasi, yuhu~. Tadinya aku mau sedikit menyinggung nama asli Mars, sekedar nama panggilan gitu soalnya kupikir nggak mungkin juga ada yang ngobrol sama Mars tapi lawan bicaranya manggil dengan nama Mars juga. Eh, aku juga nggak tau ternyata pas ngetik nggak butuh-butuh banget untuk nyebut nama asli Mars :p wkwk. Aku juga baru nyadar bahasaku sepertinya baku banget, padahal rencana awal nggak sebaku ini, wkwkwk.

Sincerely,
Rara.

The Universe of Mars&VenusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang