Prolog

5.8K 349 29
                                    

Musik mengalun bersamaan dengan gerakan tubuh yang senada, diiringi decitan sepatu yang samar. Aku melihat pantulan diriku yang dipenuhi keringat di dinding yang dipenuhi oleh cermin. Walau melelahkan, tapi aku sangat menikmatinya.

Teman-teman satu timku pun terlihat begitu cerah saat melakukan tarian. Melihat mereka, semangatku bertambah.

Lagu berakhir diiringin napas kami yang memburu.

Tepuk tangan menggema, membuatku tersenyum. Namun seketika senyumanku pudar melihat wajah produser yang terlihat sangat serius.

Ia tidak terlihat senang sama sekali. Tiba-tiba saja jantungku berdetak sangat cepat. Perasaanku jadi tidak enak.

Aku menyiapkan hati dan telingaku untuk sesuatu yang sangat tidak sopan untuk didengar.

"Sesuai dengan namanya. Trainee Tim F. Nilai kalian bahkan lebih buruk dari F." Aku terhenyak mendengar kata-kata buruk itu lagi-lagi keluar dari mulut produser.

Bahkan aku tak pernah mendengar sekali pun pujian yang ia lontarkan pada aku dan timku. Tim F.

"Kau sebut itu tarian? Kau sebut itu nyanyian? Aku bahkan rasanya mau melepaskan mata dan telingaku!"

Aku dan teman-temanku menunduk. Aih, kata-katanya sangat menyakitkan.

"Jujur saja, satu orang si antara kalian membuat performance kalian tampak sangat buruk."

Aku menunduk, sedangkan teman-temanku menatap satu sama lain.

"Rissa Saldia!" Aku mendongak diiringi dentuman keras dari jantungku ketika namaku disebut.

"Ah, ya?"

"Sudah berapa kali aku beri kau peringatan? Jangan menunduk, perhatikan nada suaramu, jangan lepas dari tempo, beri power pada gerakanmu. Tidak bisa kah kau mengerti?"

Aku menatap produser dengan tatapan yang aku sendiri tak bisa mengartikannya. Aku merasa bersalah pada teman-teman, merasa bodoh, merasa sangat buruk, dan marah. Aku marah pada diriku sendiri.

"Kalau kau cukup tau diri, kau akan berhenti bernyanyi, meninggalkan tarian, dan cukup duduk di bangku sekolah."

Ah.

Huh?

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Itu bahkan terlalu menyakitkan untuk dikatakan. Bagaimana bisa dia mengatakan itu pada anak umur tujuh belas tahun sepertiku?

Biasanya produser atau trainer mengatakan kata-kata kasar untuk membangun motivasi pada setiap trainee. Tapi kata-katanya barusan jelas-jelas bukan untuk membangun, tapi untuk merobohkanku.

"Rissa Saldia! Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat denganmu. Kau tidak ada harapan. Mulai besok tak usah datang lagi. Kemasi barang-barangmu."

Ah, aku sudah menduga ia akan mengatakan itu. Lagipula, orang sepertiku hanya menghabiskan uang agensi. Tidak bisa diharapkan.

Aku menunduk dalam.

"Kamsahamnida."

Trainee : The TalentenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang