chapter 6

189 16 3
                                    

Kerajaan Mewar

Iringan prajurit yang ramai,serta pemimpin di depan mereka. Penyambutan biasa di lakukan di depan pintu masuk istana. Ini bukan saatnya untuk senang tapi khawatir juga,mungkin terselip rasa senang sedikit di hati dan benak mereka

"Pangeran,putraku. Kau baik-baik saja kan? Mana yang terluka? Biar ibu panggil tabib agar segera mengobati dirimu nak". Omelan penuh rasa khawatir yang membuat pangeran Pratap terdiam lalu menadah tangan saat air mata. Mutiara bening menetes dari mata sang ibu.

"Aku tidak apa ibu,aku sudah lebih baik. Luka-luka ini tidak sebanding dengan rasa cinta pada tanah air ini. Dan aku yakin pasti ada doa darimu yang selalu menyertai diriku ini,ibu! Jangan menangis untuk luka kecil".

"Luka kecil? Ini banyak pangeran". Ratu Jaiwanta tanpa sadar karena kesal,akhirnya reflek mencubit lengan pangeran Pratap,mengenai luka memar.

"Awwww.. Sshhhhttt.. ibu mencubit luka ku? Ini sakit sekali,ibu". Dengan meringis sakit,dan pelukan dari ratu Jaiwanta yang makin histeris.

"Istriku? Sudahlah,ayo kita bawa dia istirahat saja. Atau kau mau membiarkan dia disini tanpa istirahat dan hanya melihat mu menangis. Panglima Cakra,bantu pangeran". Perintah dari raja Uday.

Setelah ratu Jaiwanta menyingkir mundur,panglima Cakra juga Sushima membantu pangeran Pratap berdiri perlahan serta memapah jalan memasuki dalam istana. Langkah mereka terhenti saat tepat berpapasan dengan putri Ajabde yang nampak syok melihat pangeran Pratap,bahkan nampan berisi arti terjatuh.

PRANGGGG..

"Putri Ajabde". Lirih ratu Jaiwanta sambil menghampiri.

"Ah maaf,aku terlalu ceroboh". Putri Ajabde pun menunduk dan melihat ratu Jaiwanta yang di Samping nya,merangkul hangat bagai menyalurkan rasa kuat dalam dirinya,seperti tahu apa yang dia rasakan sekarang saat melihat sosok di hadapannya terluka dan lemah.

"Pangeran? Kau terlalu nekat kesana,hingga kau akhirnya terluka seperti ini. Kau tidak tahu apa yang ibu mu pikirkan tadi saat mendengar kabar kau terluka parah tadi",pelahan dan pasti. Tutur kata yang halus namun penuh perhatian dapat di rasakan oleh pangeran Pratap dari putri Ajabde.

"Jangan khawatir,aku baik-baik saja,putri. Dirimu juga tidak perlu cemas sekarang. Mungkin ini cuma membutuhkan istirahat yang cukup!". Ucap pangeran Pratap dengan sangat ramah hingga membuat semua orang terdiam dengan ekspresi terkejut mereka.

"Sepertinya singa liar akan jinak",batin panglima Cakra dan Sushima yang ternyata satu jalur.

Dua panglima itu pun akhirnya membawa pangeran Pratap pergi ke kamarnya untuk istirahat,tak lupa tabib juga sudah memeriksa kembali dan memberikan obat yang lebih mujarab agar luka dalam seperti luka pedang dan tusukan itu cepat sembuh dan mengering tanpa bekas.

"Apa itu tadi? Istriku,apa aku tidak salah dengar tentang barusan. Singa liar itu mulai jinak dan berbicara sangat halus sekali. Padahal pada dirimu tidak begitu seperti nya",ucap raja Uday yang masih terkejut.

"Iya,aku juga baru dengar ini selama ini. Sepertinya patung itu akan jadi tersenyum dan lebih hidup",sahut ratu Jaiwanta yang di angguki raja Uday.

"Wah,pangeran Pratap mulai berubah. Kau lihat itu,putriku. Dia cuma bisa luluh denganmu". Raja Mamrat yang tidak mau kalah juga menyahut saja bergabung dengan pembicaraan yang membuat putri Ajabde menunduk,menutupi muka yang memerah menahan malu,sekaligus pujian untuknya,membuat dirinya seperti melayang.

"Sudah,lebih baik kita berbicara di ruangan saja. Tidak baik bicara disini". Ratu Hansa menyeka sambil menarik ratu Jaiwanta dan putrinya untuk menuju aula istana tempat berkumpul keluarga istana. Di ikuti dua raja.

*******

Disebuah kamar, pangeran Pratap tengah terbaring dengan lemas karena luka-lukanya yang cukup berat. Mata terpejam karena tidur nyenyak setelah diperiksa tabib istana tadi juga salep untuk luka dalam.

Tapi tanpa diketahui ada seseorang yang diam-diam melihat diambang pintu, mata yang berkaca-kaca bagai mutiara bening itu akan segera meluncur turun dan jatuh. Menangis. Putri Ajabde melihat melalui ambang pintu, ingin rasanya ia mendekati sang pangeran tetapi rasa takut melanda jika malah akan menganggu sang pangeran tidur. Gelang kaki yang berharga nyaring juga perhiasan yang ia pakai bisa menimbulkan syara berisik.

"Lekas sembuh pangeran, aku tidak kuasa jika melihat kau begini. Sesungguhnya aku tidak mengerti sekarang apa yang terjadi, mungkin benar kata pepatah jika benci menjadi cinta"

Putri Ajabde terus menatap pangeran yang jauh didalam kamarnya, ucapan lembut dari pangeran Pratap tadi juga masih tergiang ditelinga serta pikirannya, hingga tanpa sadar membuat seulas senyum kecil dibibir mungil putri Ajabde.

"Apa yang ku rasakan itu sama denganmu, pangeran? Semoga rasa permusuhan waktu kecil kita bisa dilupakan olehmu juga, karena ini akan berganti menjadi sebuah cinta yang suci. Semoga dewa mengabulkan apa yang kita kehendaki."

Langkah mundur perlahan meninggalkan pintu besar yang tepat tadi dihadapannya, putri Ajabde mulai meninggalkan ruangan dimana tadi ia terdiam cukup lama. Langkah terasa berat bagai memikul beban yang sangat rumit juga melanda diri saat ini.

"Oh dewa, apa yang aku pikir tadi? Sebegitu mudah diriku mulai terbuai dengan ucapan manis? Bahkan aku tidak tau apakah dia bisa memiliki rasa yang sama pada diriku?".

"Kenapa kau bicara begitu putri?." Suara berat tepat berada dihadapan, sontak membuat putri Ajabde mendongak kaget. Tepat dihadapannya berdiri tegap sosok yang ia kenal.

"Ah panglima Cakra? Ehmm.... ".

"Kenapa putri? Sudahlah jangan malu padaku, aku tau perasaanmu pada pangeran, dan aku tau sifat pangeran karena aku teman dia sejak kecil. Aku mengenalnya cukup dalam".

"Ah bukan... maksudku aku tidak mungkin berharap banyak pada pangeran. Perasaan itu tidak dapat dipaksakan, aku bisa menerima itu".

"Maksudmu? Jika pangeran tiba-tiba menolak perjodohan ini, kau akan diam saja? Jangan bertindak bodoh putri, yakinlah bahwa pangeran pasti bisa jatuh hati pada dirimu". Ucap tegas panglima Cakra sambil menatap penuh kepercayaan pada putri Ajabde.

Ia pun hanya diam dan menghela nafas. "Ya. Setidaknya aku bisa berdoa pada dewa apa yang terbaik untuk takdir kami".

"Itu bagus!". Kata panglima Cakra.
"Sekarang aku pamit dulu, aku mau melihat keadaan pangeran sambil membawa obatnya. Apa kau tidak mau melihat kondisinya?".

"Tidak, aku sudah dari sana tadi".

"Oh mata-mata ya? Putri kau hanya melihat dari jauh?".

Bukan menjawab tetapi putri Ajabde malah segera berlari kecil untuk menhindari pertanyaan yang mungkin timbul lebih banyak dari panglima Cakra.

"Dasar tuan putri, dia menghindar dari pertanyaanku ya?". Suara panglima Cakra yang menahan tawa. Langkahnya berlanjut menuju pintu di ujung lorong istana, tempat dimana pangeran berada dan istirahat dengan nyaman.

A Love Story And The Last KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang