"pada bintang-bintang"

520 86 30
                                    

Doyoung sedang berbicara padanya sekarang. Entah apa yang Doyoung katakan, dia membacanya dari sebuah kertas, tapi Kun tidak fokus mendengarnya. Kun bisa membaca bibirnya, tapi dia tidak menangkap apa yang dikatakannya.

"....kau melamun lagi." Akhirnya sebuah kalimat terbentuk. Kun menunduk malu.

"Aku tidak bisa fokus," akunya. "Aku tidak mengerti."

"Apa ada sesuatu yang membebani pikiranmu?" Tanya Doyoung, sekarang terlihat simpatik. Kun menggeleng.

"Selain orang tuaku? Tidak ada.."

"Kenapa kau memikirkan orang tuamu?"

"Entahlah. Sejak... Ah, aku tak tahu. Sejujurnya Winwin sering-"

"Oh, soal Winwin," potong Doyoung. Mungkin Kun terdengar menggelikan sekarang. "Kau merindukannya?"

"Bukan, bukan itu," Kun mengusap pipinya dan melihat ke arah lain. Dia bingung harus memberitahunya seperti apa. Perasaan yang dia rasakan saat ini sedikit rumit. "Aku.. kau tahu, aku merasa sejak bertemu dengan Winwin perlahan diriku mulai berubah, dan aku memang berubah, hanya saja.."

Kun sedikit ragu untuk mengakuinya. "Kenapa aku masih merasa sedih?"

Doyoung terdiam sejenak, sebelum membuka mulutnya lagi.

"Hanya kau yang tahu."

.

Kun menusuk-nusuk nasi di depannya dengan tak niat. Dari awal dia datang ke sini dia memang sudah kurang nafsu makan. Tapi perutnya jika tak diisi akan bernyanyi semalaman.

"Hey, mana senyuman untukku?" Kun mengangkat kepalanya dan reflek tersenyum. Yuta menaruh nampannya di depannya.

"Hei, Yuta.."

"Yuta-hyung, sudah kubilang!"

"Apa kau betah di sini?" Tanya Kun mengabaikan Yuta. Yuta sedikit kecewa, tapi dia memajukan bibirnya.

"Entahlah, aku sedikit rindu rumahku," dia menghela nafas. Wajahnya terlihat sedih. Sepertinya dia terlihat tak segan berbicara. "Maksudku, dia baik, kau tahu?"

Kun tidak paham.

"Baik? Rumahmu..baik?" Ini Kun salah dengar atau bagaimana?

"Oh, haha. Bagaimana ya menjelaskannya?" Yuta tiba-tiba saja terkekeh. "Coba aku tanya dulu, menurutmu rumah itu apa 'sih?"

"Rumah?" Kun membeo. "Rumah. Rumah..."

Bagiku.

Rumah itu apa 'sih?

"Tempat kita kembali. Tempat di mana seharusnya kita berada, benarkan?" tanya Yuta.

"Rumahku itu.. Winwin." jawab Kun akhirnya. "Ya, kau benar. Kenapa?"

"Ya, kau tahu. Aku suka tempat ini. Aku aman, tak ada yang menyakitiku....." Yuta menunduk sedikit dan mengusap pelan lengan kurusnya yang dibalut baju rumah sakit yang tipis. "Tapi justru itu yang membuatku tidak betah. Mereka tidak mengerti, aku menyukainya."

Kun melihat sedikit goresan di tangan Yuta. "Apa salahnya jika aku berbeda sedikit?" tambahnya.

Mungkin ini alasannya kenapa Winwin tak ingin Kun dekat-dekat dengan Yuta. Dia membuatnya takut. Ada sesuatu di dalam diri Yuta yang membuatnya bulu kuduknya menari. Entahlah, apa itu karena Yuta yang merasakan nikmat dalam kesakitan, atau karena Yuta memang menyeramkan di matanya.. secara umum.

.

Kun mengetuk-ngetuk ranjang di depannya. Dirinya sekarang sedang menatap ke arah luar jendela yang gelap. Karena ranjangnya berada di seberang ruangan di sebelah pintu masuk, dia tidak pernah melihat keluar jendela seperti ini. Beruntung ranjang itu sudah tidak ada pemiliknya, Kun bisa sesuka hati mengintip keluar jendela sekarang.

Sejujurnya, bukan tanpa alasan Kun ingin mengintip keluar jendela.

Dia penasaran apakah di malam hari dia bisa melihat bintang dari balik jendela ini. Mungkin jawabannya tidak. Di luar sana terlalu gelap. Kun tidak bisa melihat apa-apa kecuali siluet yang selalu dia bayangkan di luar sana. Menatapnya dari kejauhan.

Kun menggeleng kepalanya. Dia harus berhenti membayangkan

Meski kecewa tidak melihat bintang, Kun tetap menyambut hangat bulan di atasnya.

"Tidak ada bintang, jadi aku akan bertanya padamu saja," ucap Kun tiba-tiba. Dia menopang dagunya dengan tangan. "Hei, apakah dia melihat bulan yang sama sepertiku?"

.

.

.

Dua minggu.

Sudah dua minggu berlalu.

Sejujurnya Kun tidak tahu sampai kapan dia harus menetap di sini. Dan rasa-rasanya dia juga tahu tidak akan bertahan lama, karena para staff rumah sakit sepertinya sudah memandangnya dengan tatapan jijik karena mereka menganggap Kun suka tinggal di rumah sakit jiwa.

Tidak.

Kun tidak suka.

Dia hanya menunggu. Bukankah dia sudah berjanji akan menunggu?

Maka dari itu dia menutup telinganya dan berjalan dengan senyuman. Biarkan orang berkata dia gila, mengharapkan orang yang ditunggunya menjemput dirinya dari miniatur penjara ini.

Karena Kun percaya.

.

"Seperti biasa. Kau merasa tertekan, tapi itu wajar karena lingkungan kita mendukung. Tidak ada yang lain, kau baik."

Kun tersenyum menganggap nya. Dia tahu sejujurnya Doyoung menyembunyikan sesuatu. Fakta bahwa dirinya sebenarnya tidak baik. Fakta bahwa sebenarnya dia jauh dari kata baik, dan mengalami halusinasi.

Kun mengaku dia mengalami halusinasi. Terkadang, di ujung matanya, dia seperti melihat sesosok siluet. Hitam, selalu hitam. Menatapnya dari tempat dia terlihat. Kun berpikir mungkin itu hantu, tapi dia tidak menganggu. Jadi Kun menganggap kalau dia berhalusinasi.

Ketika Kun keluar dari kantor Doyoung, perawat mengantarnya kembali ke ruangannya. Karena Winwin sudah tidak lagi bersama di sini, Kun dititipkan kepada perawat. Jaga-jaga kalau dia mulai macam-macam.

"Cukup sampai sini saja." Ucap Kun pelan. Dia merasa risih dengan pegangan perawat itu.

"Baiklah," perawat itu melepas tangannya. Kun berharap setelah itu dia akan pergi, tapi dia tidak.

"Apa lagi?" Tanya Kun, agak sedikit terganggu sekarang. Perawat itu menatap datar Kun sebelum berkata,

"Sebentar lagi akan ada yang menempati ruangan ini, kau jangan terlalu terbiasa dengan ini." Kemudian dia pergi begitu saja. Kun hanya tersenyum kecut.

Apa dia sudah terlihat terbiasa?

mimpi yang sempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang