Another Matahari Story - Part 1 - Ari Version

2.3K 24 0
                                    

Ari mengeluh kesal. Lagi. Mungkin sudah yang kesekian kali. Ia tiba di fakultas mipa itu sejak 15 menit lalu, tapi enggan menapakkan kaki dari motor besarnya. Malas. Plus malu, kalau boleh dikatakan begitu.

Malu??? Untuk ukuran preman kampus sekelas Ari ada kata malu?? Sama sekali bukan karena itu. Tapi karena satu hal. Dia gak mau berurusan lagi sama kasus lama dengan salah satu dosen muda di fakultas ini.

Sebuah kisah gak lucu beberapa bulan lalu. Ari iseng menjatuhkan nomor hapenya di meja tempat dosen wanita yang terkenal paling cantik dan masih muda - yang tengah makan siang di kantin. Ari sengaja. Taruhan sama Oji. Kalau dia berani sekedar ngelakuin itu doang, bakal dikasih surprise keren. Ari yang kebetulan otaknya tinggal di rumah malah mengiyakan. Padahal ia tahu banget manusia model Oji mustahil ngasih surprise yang bagus bagus.

Alhasil si dosen muda itu malah kegirangan. Ia mengirim pesan singkat lebih dulu pada Ari. Pertama mengajak kenalan. Lama kelamaan menyentuh sisi rawan, yakni pedekate. Ari jelas ilfil. Bukan tipe perempuan seperti dia yang diinginkannya. Ari itu tipe pria sejati. Ia sendiri yang akan menemukan ratunya. Itu prinsipnya.

Dengan sejuta malu, Ari terang - terangan menolak si ibu dosen yang praktis menembaknya. Ari kesal. Geli. Ingin diberinya si dosen itu pelajaran soal harga diri. Oh ya. Ari memegang erat paham : "Dimana mana yang nembak cewek ya harus cowok. Gak boleh sebaliknya. Haram itu." Ia juga harus menahan malu karena ibu dosen itu menyatakan cinta justru di depan mahasiswa - mahasiswanya sendiri. Gila!!! Gila banget. Ari bisa muntah membayangkannya. Meskipun si dosen sudah mutasi ke luar kota - sama menahan malu - tapi tetap saja Ari males main ke fakultas itu lagi. No. Gak bakal pernah lagi!!

Bukan Oji kalau gak berhasil bikin Ari mati kutu. Makhluk astral satu itu emang paham Ari banget. Iyalah, sahabatan udah 6 tahun lebih sama Ridho juga. Jadi kali ini akan dikerjainya sahabatnya itu yang tengah malam nanti berulang tahun ke 21. Haha.

Malam sebelumnya.

"Ri, om gue sakit keras. Gimana dong ini?"

Ari mengernyit. Ditatapnya muka Oji dengan pandangan "terus gue ikutan sakit, gitu?"

"Besok gue dapat amanah ngospek maba. Perintahnya Riki. Gue terlanjur bilang iya. Gak tau gue bakal disuruh ke Solo sore ini. Bantuin gue dong." pintanya lagi.

"Ya udah batalin aja. Gimana sih lo. Paham tu si Riki." jawab Ari sekenanya.

"Masalahnya gue koordinator penting buat besok. Gue yang paling penting buat pembukaan. Gue bawain pidato, man. Keren kan gue. Maka itu kudu dateng. Ck. Kasian si Riki. Nyokapnya pake keluar kota mendadak lagi. Jadi gak bisa jalanin tugas. Dikasih ke gue, gue ikutan gak bisa. Tolongin dong, Ri." Oji mulai memohon.

"Maksud lo gue yang pidato gitu. Males ah. Maba lagi. Ogah gue. Kalo acara apa gitu, gue mau. Ngospek enggak."

"Ri...."

Ari menyentak tangan Oji yang mulai bergelayut di tangannya. Risih. Ari tau kemana arah gestur manusia disebelahnya.

"Gue lebih milih ribut sama lo daripada dipaksa. Beneran." Ari mengancam.

Oji langsung lemas. Dilepasnya pelukan di lengan Ari. Ia melenguh. Ari jadi serba salah. Masa cuma bantuin teman begini dia gak bisa. Lagian Ari bukan tipe pemalu. Dia sih oke oke aja ngomong didepan ribuan umat begitu. Masalahnya emang lagi gak mood aja.

"Ridho aja, Ji." Ari memberi alternatif.

"Dia gak mau. Demam panggung katanya."

Oji meringis dalam hati. Jelas jelas dibayangannya Ridho yang tertawa keras mendengar rencana itu. Oji berusaha menahan senyum.

"Ck. Lo nyusahin gue aja. Padahal gue rencana mau nyantai besok di rumah. Gak ngampus. Lo malah gangguin. Fakultas apa sih?"

Oji tersenyum. Sudah tak dapat ditahannya. Ia seolah mendapat lampu hijau yang lagi hijau hijaunya.

"Mipa."

Sekilas Ari terbelalak. Lalu buru - buru mengubah air mukanya. Wajah si dosen itu melintas di otaknya. Lagi. Kemudian ia teringat sesuatu. Ini ngospek maba. Bukan mahasiswa buluk yg pernah melihat kejadian bodoh dengan si dosen yang sudah mutasi itu. Jadi pasti aman. Dia masih suci. Bersih. Ini juga momen yang pas buat ngecengin cewek cewek. Ari tersenyum positif. Okelah.

"Jam berapa?"

"Alhamdulilaah. Emang sohib gue banget lo. Semoga amal ibadah gue selama hidup dilimpahin ke lo deh, Ri. Gue ikhlas. Beneran."

Ari tertawa keras. Gimana bisa dilimpahin. Kayaknya Tuhan aja udah males banget sama umatnya yang satu ini. Soalnya kebanyakan dosa dari pahala.

"Jam berapa?" Ari bertanya lagi.

"Setengah tujuh udah di sana ya. Bantu bantu yang lain ngangkatin apa gitu. Oke!"

Ari setuju.

Meskipun Ari pinter, tapi kadang - kadang otaknya gak jalan. Ini dia baru sadar kalo dosen yang dimutasi cuma satu. Bukan semua. Hebatnya lagi kejadian bodoh itu ikut disaksikan beberapa dosen lain. Dan pasti, mereka akan ada disana ketika dia berpidato nanti. Mati gue!!

Ari membuat puntung rokok kelimanya. Cukup sudah. Kakinya nyaris kebas cuma duduk duduk begitu. Ia sudah memutuskan. Akan dimakannya tantangan kali ini. Harus. Ari melangkah pede. Ia menuju posisi Bayu yang baru mengiriminya pesan singkat, perihal kemana Ari harus pergi sekarang. Ari ke ruang panitia ospek. Badge panitia dikantonginya. Setelah sekitar 15 menit membantu bantu persiapan pembukaan penerimaan maba itu, Ari kemudian menepi ke bawah pohon di depan ruang panitia. Capek banget. Keluhnya.

Sesaat kemudian seorang gadis manis - mahasiswa baru pastinya - dengan seragam putih hitam dan rambut gerainya, melintas. Cantik. Manis sekali. Ari tersenyum girang. Harus kenalan, batinnya.

"Pakai seragam beda sendiri gak papa, kali." sapa Ari.

Cewek manis itu menoleh. Dipandanginya Ari dari ujung kaki hingga kepala. Lantas ia tersenyum. Mengejek.

"Gue emang bandel. Tapi untuk kali ini.." ia menggeleng keras, "gue masih waras!!"

Ari tersentak. Artinya, artinya gue gak waras dong!!

Ari refleks mencekal lengan cewek itu. Ia menyipitkan matanya mencari penjelasan dari kalimat tadi.

"Ari buruan!!"

Keduanya menoleh. Ari. Dan cewek itu juga. Yang mengagetkannya justru si cewek itu yang melambai.

Ia menghampas cekalan Ari dan berlalu. Berlalu.

"Namanya Ari?"

Another Matahari StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang