Another Matahari Story - Part 4 - Ari Version

704 14 0
                                    

"Gila!!! Parah banget, Ri. Ini masalah serius. Kok bisa sih?!!" Dhea yang sejak tadi mondar mandir udah kayak setrikaan rusak terus nyerocos. Ari yang diomelin diam manyun di balkon kamarnya. Bingung.

"Harusnya lo jangan bikin masalah dong. Pake aku kamu kenapa sih biar gak marah gitu dia. Senior kita loh, Ri. Lo gak ngira ngira sih. Gue cuma takut besok lo diapa apain sama dia. Dia kesal, murka, dendam dan bakal bales lo. Gue sering liat di sinetron sinetron begitu, Ri. Digenjet kakak tingkat. Parah parah parah!!"

Arinna melenguh lagi. Rejeki banget punya temen kayak Dhea ini. Pas banget buat gantiin nyokapnya ngomelin dia. Bukannya ditenangin malah dibikin makin stres. Sejam sebelumnya Dhea datang ke kamar Ari dan mendapati sahabatnya itu tengah bego di sudut kamar. Setelah diceritain lengkapnya, itulah hasilnya. Sukses diomelin.

"Lagian siapa suruh lo cabut ha? Gila lo! Gak berubah juga.."

Ari tersentak. "Gue udah berusaha, De. Udah gue sabar sabarin jadi anak baik. Tapi gak bisa. Emosi gue. Mana tadi ospeknya garing banget. Gue gak tahan. Makanya cabut. Eh cabut malah ketemu itu orang."

"Cuma seminggu doang, Ri. Seminggu doang jadi anak baik gak bisa apa? Setelah itu bebas deh mau apa."

Pintu diketuk dari luar. Kepala mbok Ayu muncul.

"Non ditungguin Mas Dafa di bawah."

"Ha!!!??? Mas Dafa udah nyampek, mbok? Kok cepet?"

Ari lupa segalanya. Mas Dafanya udah dateng. Ya Tuhaaaan, pekik Ari. Kalo tidak diseret balik ke kamar oleh Dhea, Ari bakal keluar kamar cuma pakai tanktop doang.

"Pakai baju dulu kupluk!"

Ari cengengesan. "Lupa gue, De."

"Mas!!!!!" Ari melompat ke pelukan masnya. Kakak tertuanya ini yang paling Ari sayang. Lagipula udah 4 bulan Ari gak ngobrol sama dia. 4 bulan coy!!! Pelatihan militer terkutuk itu memaksa Ari untuk miskomunikasi beberapa waktu hingga liburan ini. Dan inilah Mas Dafanya, angkatan muda di keluarga Ferdinand.

"Wah, yang udah jadi mahasiswa sekarang." sapa Masnya. Dipeluknya erat tubuh adik perempuan satu satunya ini. Inilah yang menjadi alasan kuat mengapa Dafa tak memilih liburan ke luar negeri sekedar refreshing dari pelatihan ketat itu. Ia memilih menghabiskan waktu tiap detiknya bersama Ari ini.

"Ah, mas. Garing banget hari pertamanya. Ospek nya gak lucu. Males Ari. Untung cuma seminggu." komentar Ari.

Dhea muncul dan menuruni tangga. Dia membalas salam Mas Dafa. Mas Dafa ini juga cukup dekat dengannya.

"Satu fakultas beda jurusan, kan?" Mas Dafa melirik keduanya.

"Iya mas." keduanya kompak.

"Mas gak bawa oleh oleh. Tapi besok mas janji jalan bertiga. Mas traktir belanja sesukanya. Oke!"

Okeee.....

"Mas, papa kok gak ikutan balik sih?" Arinna sibuk memotongi sayuran ditemani Mbok dan Mas Dafa yang cuma ngeliatin dari meja makan. Dhea baru saja pulang.

"Banyak tugas, Ri."

"Tugas mulu. Ini rumah udah kayak kuburan, mas. Sepi. Apa perlu Ari bawa anak anak panti main kesini tiap hari biar rame?" tanyanya lagi.

Mas Dafa tersenyum.

"Ajak Dhea main kesini tiap hari. Atau teman teman yang lain. Kalau enggak bikin kesibukan sendiri dong. Apa gitu. Club pecinta alam, atau musik, atau terserah kamu."

"Hehh." Ari mendengus.

Lama ia diam. Selesai dengan sayurannya, Arinna menyalakan kompor. Ia memasak sendiri. Ari emang bisa masak. Walau gak jago jago amat. Ia terbiasa ngeliatin si mbok dan sejak SMA kelas 1 udah mulai terjun ke dapur. Apa lagi yang Ari bisa selain masak? itu jawabannya setiap ada yang ngeledek, bertanya, ataupun muji.

Ari menggeser satu kursi di meja makan. Kepalanya tertunduk. Ari menangis. Hanya sesenggukan sesekali yang terdengar.

Mas Dafa mengerti. Pasti ada sesuatu yang diutarakannya. Pasti. Cewek satu ini terbiasa begitu. Dibalik keras dan tingginya tembok keangkuhan yang ia bangun sejak lama, tetap saja ada lapisan yang tak mampu tertutupi. Lapisan itu lebih keras. Lebih dalam. Itu hati kecilnya. Itu Arinna sesungguhnya. Arinna yang dipagar tembok agar tak muncul di saat saat yang tidak diharapkan. Kini ia muncul. Memang sedang dibutuhkan. Soalnya sudah ada bahu yang akan menerimanya. Mas Dafanya.

"Ari kangen kita semua, mas. Kangen banget. Ari kangen..." tangisnya lepas di bahu mas dafa. Lebih keras. Sudah lama ingin dibaginya semua ini. Mungkin cuma Mas Dafa yang mengerti. Mas mas nya yang lain terlalu cuek. Mereka pikir Ari baik baik saja. Tidak untuk selamanya.

"Maaf ya gak bisa selalu temenin kamu."

Arinna masih menangis.

"Makanya mas suruh kamu bikin kesibukan sendiri. Biar ga kerasa banget sepinya." Mas Dafa membelai puncak kepala Ari.

"Baik baik kuliahnya ya. Tapi kalau jenuh, boleh keluar sebentar. Cari udara segar."

Arinna mengangguk. Diusapnya air matanya yang banjir itu dengan sebelah telapak tangan. Ia tersenyum. Masih tersisa kangen di sana. Tapi untuk sekarang cukuplah. Masih ada tiga minggu tersisa untuk bersenang senang dengan masnya.

"Non, kuah supnya udah kering..." lapor mbok dengan wajah sediih banget. Arinna tersadar. Ia melompat dan langsung mengecek isinya. Langsung tertawa tawa. Mas Dafa geleng geleng kepala melihat perubahan sikap Ari. Adiknya yang aneh.

Another Matahari StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang