8 - Fakhri

391 34 0
                                    

Suasana hening mendominasi di dalam kelas. Semuanya tengah fokus dengan soal-soal di hadapan masing-masing. Seorang guru berpostur kurang tinggi dengan perut yang agak membuncit serta kumis tipis yang menghiasi wajahnya tengah berjalan, memutari kelas, mengawasi jikalau ada siswa yang curang dalam mengerjakan soal tersebut.


Tak terkecuali Reno. Cowok itu tengah terfokus pada soal nomor lima. Sulit baginya untuk mengingat rumus-rumus dengan lambang-lambang rumit dan sulit itu. Bersyukur, cowok itu tidak terlambat masuk seperti kemarin. Jika ia terlambat, maka ia akan mendapat hukuman yang lebih dari kemarin.

"Psst! Psst!" bisikan itu keluar dari mulut Fakhri yang duduk tepat di belakang Reno.

Merasa tidak mendapatkan respon dari teman di depannya, Fakhri lalu mendorong pelan kursi Reno dengan kaki.

Reno menoleh, lalu bertanya, "Apaan?" dengan suara yang cukup pelan.

"Nomor satu sampe sepuluh, Ren!"

Mendengar jawaban itu, Reno mendelik menatap Fakhri. Seenaknya saja meminta jawaban untuk semua nomor. Cowok itu kembali berkutat pada lembar soal di depannya. Mengabaikan panggilan dari Fakhri yang meminta jawaban darinya. Fakhri terus mendorong kursi Reno dengan kakinya, sedikit demi sedikit.

"Pelit banget, sih?" kata Fakhri.

Lalu, cowok itu mendorong kursi Reno sekali lagi. Kali ini ia mendorongnya agak kuat, dan ....

Ciiiiiitt

Suara decitan keluar karena gesekan kursi dengan ubin. Semuanya menatap Fakhri yang sekarang tengah menutup sebagian wajahnya dengan kertas ulangan.

"Kamu yang pake gincu!"

Seketika, perhatian beralih pada guru yang sedang berdiri di depan. Termasuk Fakhri.

"Saya, Pak?" Fakhri membuka suaranya, jarinya mengarah ke wajahnya.

"Iya! Keluar! Lembar jawaban kamu tinggal saja di atas meja!" titah guru tersebut.

Fakhri berdecak. Bibirnya sudah maju 2 senti. Guru sialan! batinnya.

Lalu ia melangkahkan kakinya keluar, tidak mau berdebat lebih lama dengan guru ini. Tidak lupa, ia menulis asal jawaban di atas kertas ulangannya.

Sebelum ia benar-benar keluar, ia mendelik ke arah guru yang juga tengah menatap tajam Fakhri. Dan ia berkata, "Saya nggak pernah pake gincu, Pak!"

***

Fakhri menyesap es teh di depannya. Sesekali, ia menggigit ujung sedotannya. Semua teman-temannya telah berkumpul di meja kantin. Kecuali Reno. Entah kemana cowok itu pergi, Fakhri tidak tahu.

"Bebeb Reno gue mana woi?!" tanyanya kepada kedua temannya yang tengah menyantap makanan mereka masing-masing. "Dia sakit lagi, ya?! Kok lo semua nggak bilang ke gue?!"

"Santuy, nggak usah nge-gas." Beni membuka suara. Lalu, setelah itu ia melanjutkan aktivitasnya.

Fakhri menatap ke sekeliling kantin. Ramai. Tapi ia tidak melihatnya lagi. Padahal dalam hati, ia terus berdoa agar di pertemukan kembali dengan gadis yang mencuri perhatiannya. Pikirannya kembali ke beberapa menit yang laku, saat ia melihat seorang gadis imut yang ia temui di kantin. Ia ingin melihatnya lagi.

"Nyariin siapa sih, Ri? Reno?" Gilang telah menyudahi aktivitas makannya. "Dia tadi ada urusan penting katanya."

Cowok yang tengah menggigit-gigit ujung sedotannya itu menoleh menatap Gilang. Entah kenapa, ia ingin menggigit sedotan esnya. Fakhri menaikan sebelah alisnya. "Urusan sama siapa? Tumben nggak cerita ke kita?"

RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang