9 - Suatu tempat

361 34 0
                                    

Bel pulang telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Para siswa berhamburan keluar kelas sejak beberapa menit tadi. Sedangkan Reno masih berada di kelas bersama satu orang temannya. Kedua temannya yang lain sudah pulang terlebih dahulu karena mengerjakan tugas kelompok.

"Ri? Kalo gue mau ikut ekskul basket masih bisa nggak sih?" Reno menatap temannya yang masih memakai kaus basketnya.

Fakhri menoleh menatap Reno. "Kakak lo kan ketua ekskul basket, kenapa nanya ke gue?"

"Gue kan mau buat kejutan." Reno membuang muka, beralih menatap papan tulis yang sudah kembali putih tanpa coretan itu.

Sebenarnya, Reno merasa minder jika harus bertanya kepada Rakha langsung. Iri? Iya, memang dia iri. Tapi iri dalam prestasi? Tidak ada salahnya kan?

"Halah!" Fakhri mengibaskan tangannya. "Kalo mau gabung, ya gabung aja. Gue yakin lo akan langsung di terima. Secara, lo kan adeknya kak Rakha."

Satu lagi, ia tidak mau berprestasi karena naungan nama kakaknya. Ia tidak mau berprestasi, jika pada akhirnya orang-orang menyebutnya 'Oh, itu Reno adiknya Rakha' tidak!

Ia terus berpikir, memutar otak agar ia bisa sejago kakaknya dalam bermain salah satu olahraga bola besar itu, tanpa mengikuti ekskul di sekolahnya saat ini.

"Ren? Kemarin lo minta bantuan buat nyariin cewek yang namanya Marissa?"

Reno menoleh. Ia mengangguk. "Iya, udah ketemu kok, cewek yang tadi itu."

"Ketemu dimana?"

Reno menaikan alisnya. Untuk apa Fakhri bertanya tentang itu?

"Eh, kalo nggak mau jawab juga nggak apa-apa." Fakhri menyandang tas punggungnya. "Gue duluan, ya. Buruan pulang, ntar keburu hujan," katanya kemudian berlalu meninggalkan Reno sendirian di dalam kelas.

Ia menghela napas. Lalu menengok ke arah luar. Benar kata Fakhri, langit mulai gelap karena mendung.

***

Reno melangkah gontai menuju gerbang depan sekolah. Ia baru saja dari tempat parkir yang berlokasi di gedung belakang sekolah. Cowok itu lupa, motornya berada di rumah gadis itu, Marissa.

Betapa merasa bodohnya ia. Lelah terus berjalan. Kegiatan ekskul hari ini di lakukan di dalam ruangan, karena langit yang semakin menggelap, membuat suasana di sekolah menjadi sepi. Ia berhenti ketika melihat seorang gadis yang tidak asing berdiri di depan pos jaga milik satpam sekolah.

Gadis itu tampak gelisah. Sesekali ia mengecek telepon genggamnya. Seperti mengharapkan sesuatu dari ponsel berewarna merah muda dengan banyak glitter itu.

"Mia!"

Gadis itu menoleh ketika Reno menyebut namanya. Cowok itu melambaikan tangannya dan tersenyum lebar ke arah Mia. Gadis itu mengerutkan keningnya. Mencoba melihat dengan jelas siapa yang tadi memanggilnya.

"Reno?"

Reno mendekat, karena ia sadar. Mia tidak bisa melihat keberadaannya dalam jarak lebih dari lima meter. Penglihatannya akan mengabur, jika gadis itu tidak memakai kacamata khususnya. Seperti saat ini.

Mia mengidap penyakit rabun jauh sejak ia duduk di bangku menengah pertama. Hal itu di sebabkan karena kebiasannya yang suka membaca novel sambil tengkurap. Hal itu di tuturkan Mia kepada Reno.

"Lo ngapain sendirian disini?" Reno menengok ke arah dalam pos jaga. Tidak ada orang sama sekali.

Mia bergumam, "Supir gue nggak bisa dateng."

Suara petir terdengar bersahutan, namun suara dalam skala kecil. "Kayaknya hujannya bakal deras deh."

Mia mengangguk mengiyakan.

"Pulang bareng gue aja, yuk?"

Tawaran itu menarik. Sangat menarik. Mia belum pernah pulang sekolah bersama Reno. Menaiki motor Reno, hanya berdua dengannya saja. Pasti akan sangat menyenangkan.

"Tapi, kita ambil motor dulu." Reno memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.

Mia baru menyadari, Reno belum menaiki motornya. "Motor lo dimana emang?"

"Di rumah temen. Nggak jauh kok rumahnya. Lo mau kan?"

Gadis berkuncir satu itu mengangguk. Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.

"Ya udah, buruan. Nanti keburu hujan."
Ia mulai berjalan di samping Reno. Menghapus sedikit jarak di antara mereka.

Sebut saja Mia, mengambil kesempatan dalam kesempitan.

***

Jika di saat seperti ini, Marissa biasanya akan menonton siaran ulang berita politik. Maka berbeda dengan hari ini. Entah kenapa, ia ingin sekali menunggu Reno menjemput motor yang sekarang berada di garasi rumahnya.

Marissa menyesap teh hangat yang baru saja pembantunya buat. Sambil membaca novel ia duduk di teras rumahnya. Menikmati hawa dingin yang muncul karena mendung.

"Marissa!"

Cewek itu menutup novelnya. Suara itu adalah suara Reno. Ia tak asing lagi dengan suara serak yang terkesan lembut milik cowok itu. Dengan semangat, ia membukakan gerbang untuk cowok berambut coklat gelap itu.

Tapi, perasaannya yang tengah berbunga-bunga itu seketika menjadi layu. Saat melihat seorang gadis yang sedikit asing untuknya. Marissa menatap Reno dan gadis itu bergantian.

"Eh, ini ya, yang namanya Marissa?" Mia tersenyum hangat ke arah Marissa.

Gadis itu membalasnya dengan anggukan ringan.

"Cantik, ya," puji Mia.

Marissa tersipu malu. Dia adalah gadis yang pendiam. Jarang ia bisa bercengkrama dengan orang yang baru ia kenal seperti akhir-akhir ini.

Sembari menyelipkan anak rambut yang keluar dari ikatannya, Marissa menjawab, "T-terimakasih." Dengan tergagap.

***

Pada kenyataannya. Reno tidak mengantarkan gadis itu pulang. Cowok itu mengajak Mia untuk ke sebuah tempat yang cukup asing baginya. Jauh dari keramaian.

Semakin lama, laju motor Reno semakin melambat. Membuat gadis yang sedang membonceng di belakangnya terheran-heran. Cowok itu mengajaknya untuk pergi. Menenangkan diri. Entah apa maksudnya. Sebagai sahabat yang baik. Mia mengiyakan ajakan Reno.

Tetapi sekarang, Mia merasakan ada hal aneh dalam diri Reno. Yang tentunya baru ia sadari sekarang ini.

"Bensin lo mau abis, Ren?" Mia menepuk pundak Reno agak keras. "Kalo abis, mendibg di isi dulu, deh. Ntar gue yang bayarin."

Motor Reno berhenti di pinggir jalan. Cowok itu mematikan mesin motornya, lalu membuka helmnya.

"Nggak usah. Masih full."

Cowok itu mengalihkan pandangan ke padang sabana di sampingnya. Hamparan rumput luas yang mungkin baru saja terguyur hujan. Pandangannya kosong. Entah apa yang kini ia pikirkan. Mia mengikuti arah pandangan Reno.

"Menurut lo, tempat ini gimana?" Pertanyaan itu keluar secara tiba-tiba dari mulut Reno.

"Tempatnya indah. Enak di pandang mata," jawabnya jujur. Apalagi, gadis itu memang menyukai warna hijau. "Lo sendiri? Menurut lo gimana?"

Reno mengembuskan napasnya yang terasa berat. Turun dari motornya, ia berjalan di atas padang rumput itu. Di ujung sana, terdapat danau buatan untuk menampung air hujan. Dan mereka berdua berhenti tigameter sebelum danau.

"Tempat ini indah. Tapi kosong."

Mia menatap cowok di sampingnya dengan dahi berkerut. Masih mencerna kata-kata Reno.

[]



RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang