Reyhan Dirga Paleva

8 2 0
                                    

"Kamu kenapa, Dek? Makan dong!! Udah Abang beliin juga." Rey menusukan garpu ke bakso dan memberikan aba-aba agar adiknya itu membuka mulutnya. Namun nihil. Adiknya itu tak muau membuka mulutnya.

"Kamu kenapa sih, Dek? Kan Abang udah capek capek pergi ke depan gang buat beliin lo bakso kenapa malah ngga mau?" Rey masih membujuk adiknya agar mau makan.

"Ngga mau, Bang!! Ngga selera makan." Gadis itu masih kekeh tidak mau memakan baksonya.

"Nanti kamu sakit! Ayo makan!!!" Rey membujuk adiknya sekali lagi.

"Abang maksa banget sih?? Tau ah. Reva pergi aja!!"

Gadis itu pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya. Entahlah mengapa adik tersayangnya itu tidak mau makan. Rey menaruh mangkuk bakso tadi di samping kompor. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya juga. Sebenarnya dia lapar, tapi melihat adiknya tidak mau makan dia kehilangan selera makannya.

PRAAANKKK!!!

"Reva!!"

Rey mendengar suara benda jatuh dari kamar Reva, adiknya. Dia berlari ke lantai dua menuju kamar Reva dengan tergesa-gesa.

Sampai di pintu depan kamar Reva, Rey mencoba membuka kamar adiknya itu tapi dikunci.

"Dek!!! Buka pintunya!! Kamu kenapa??"

"TINGGALIN REVA SENDIRI, BANG!! JANGAN GANGGU REVA!!" Rey semakin gusar. Bagaimana jika adiknya itu melakukan hal yang tidak-tidak.

"Kak!! Dengerin Abang. Jangan bertindak kaya gini !! Abang ngga..."

"PERGI BANG!! JANGAN GANGGU REVA!!!"

Rey mengacak rambutnya. Ternyata perceraian Bunda dan Ayahnya sangat berpengaruh pada kesehatan adiknya. Adiknya itu uring uringan setelah insiden perceraian yang terang terangan di lakukan ayah dan bundanya di depan mereka. Bahkan saat itu ada adiknya yang masih bayi.

Rey berjalan menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Reva. Rey mengunci pintu setelah masuk kamar. Dia sangat pusing dengan keadaan keluarganya. Bagaimana dia bisa mengurus kedua adiknya?

Rey menuju kasurnya. Dia melihat malaikan kecil yang lima bulan yang lalu lahir dari rahim bundanya. Dia sedang meringkuk di kasurnya dengan mata terpejam sambil memeluk guling yang tingginya sama dengan tubuhnya. Rey menggendongnya dan menimang adik kecilnya itu dengan sayang. Seakan adik kecilnya itu sumber kekuatannya dalam menghadapi kehidupan pahit keluarga.

Rey menatap tembok yang menghubungkan kamarnya dan kamar Reva. Rey berjalan ke arah tembok tersebut masih setia menggendong adik kecilnya.

Rey menempelkan keningnya ke tembok. Wajah tampan itu lebih datar dari tembok yang ada di hadapannya. Seakan akan warna abu abu pada tembok tak lebih gelap dari pikirannya sekarang. Perlahan keluar cairan bening dari matanya.

Rey menangis.

Entah sudah berapa kali dia menyembunyikan tangisan itu dari adik adiknya. Yang jelas dia sangat sakit saat ini. Harus mengurus kedua adiknya di usianya yang masih menginjak bangku SMA tidak mudah. Rumah ini diberikan kepada Rey sebagai warisan dari kakeknya. Ayah dan Bundanya sudah tidak tinggal bersama dengan mereka sejak seminggu lalu karena memang Rey sendiri yang menginginkan pergi jika Ayah dan Bundanya bercerai.

Sebenarnya Rey ingin pergi sendiri, namun saat Rey mengemasi baju bersiap untuk pergi, Reva tiba-tiba menghampirinya dengan adik kecilnya, Adit, berada di gendongannya. Dia ingin ikut dan membawa Adit untuk pergi dengannya. Rey yang sebelumnya menolak luluh hatinya karena melihat tangis dari Reva maupun Adit.

Dan disinilah kehidupan mereka sekarang. Jauh dari orang tua dan tinggal di kampung halaman kakeknya.

Rey yang sebelumnya berdiri sekarang duduk di lantai. Menangis sepelan mungkin agar kedua adiknya tidak bisa mendengar.

Rey menatap lurus kedepan. Memikirkan semua yang nanti menjadi masa depan kehidupannya bersama Reva dan Adit. Dengan warisan yang diberikan kakeknya, dia akan menghidupi dan memenuhi kebutuhan adik adiknya.

"Reva, Adit, Abang akan jadi ayah dan bunda buat kamu. Abang bakal jagain kalian berdua. Entah itu pagi, siang ataupun malam. Panas dan hujan. Abang bakal jagain kalian berdua. Abang sayang kalian. Kalian penyemangat Abang. Yang paling berharga buat Abang. Ngga akan ada yang bisa nyakitin kalian sekalipun itu Ayah atau Bunda."
Rey berdiri dan menaruh adit di ranjangnya.

Rey duduk di sisi kanan ranjangnya dan membuka laci kecil di sampingnya. Mengambil sebuah foto berbingkai yang terpampang jelas dua insan yang saling berpelukan dan di depannya ada dua anak yang umurnya selisih tiga tahun dan bayi yang berada di kereta dorong tersenyum manis menatap kamera.

"Rey akan selalu anggap kalian sebagai Ayah dan Bunda Rey. Meski sekarang anak-anak ayah dan bunda ini terlampau kecewa bahkan benci pada kalian berdua. Tapi Rey mohon!! Jangan ganggu kehidupan Rey dan adik-adik. Apalagi menjauhkan Rey dari mereka berdua. Karena sekarang, mereka tanggung jawab Rey!!" Rey berbicara dengan foto itu seakan kedua orang itu sedang berada di depannya.

Rey tidur di samping Adit. Menaruh foto itu di bawah bantal dan memejamkan matanya. Dia sangat lelah hari ini.
.

.
.

.
.
.

Reyhan Dirga Paleva

My Perfect BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang