Gadis itu cantik. Tak banyak yang tahu kalau dia adalah anak broken home. Karena dirinya menjadi pendiam saat dirumah dan ceria di sekolah semenjak perceraian ayah dan bundanya.Sebenarnya dia tak nafsu makan. Tapi kakaknya itu selalu memaksanya. Dia tidak berselera saat ini. Apalagi hatinya saat ini tengah beradu dengan pikirannya. Ia sangat kacau semenjak dia memutuskan untuk pergi bersama kakaknya kesini. Namun lebih baik begitu. Daripada harus tinggal dirumah ayah dan bundanya yang saat ini hanya dihuni oleh tukang kebun saja.
Dia menatap dirinya di cermin. Mata sembab, hidung merah, rambut acak acakan dan tangan yang terluka karena goresan di bagian pergelangan. Entah sudah beberapa kali dia menggores pergelangan tangannya itu berharap ia mati saat itu juga. Tapi sia-sia, karena kakak yang selalu menyayanginya itu akan datang disaat yang tepat untuk mengobati lukanya atau mencegah kekonyolan yang dilakukannya agar tidak terjadi lagi.
Reva menatap benci dirinya di cermin. Mengapa dia begitu mirip dengan ayahnya? Dia sangat benci itu. Dia berjalan mengambil botol parfum dan dengan cepat melemparkan benda itu kearah cermin.
PRAAANKKK..
Kaca yang semula utuh sekarang hancur. Sama seperti angannya yang percaya bahwa keluarganya akan selau utuh dan harmonis kini hancur karena suatu hal.
Terdengar suara Rey memangilnya.
"Reva!!! Buka pintunya!! Kamu kenapa??"
Reva berjalan mendekati pintu berniat untuk membukanya. Tapi langkahnya terhenti ketika menyadari bahwa sekarang penampilannya sangat kacau. Dia tidak mau kakaknya tahu kalau adik yang ia sayangi ini sedang kacau. Padahal tanpa Rey melihat pun Rey sudah tahu kalau adiknya sedang kacau.
"TINGGALIN REVA SENDIRI, BANG!! JANGAN GANGGU REVA!!"
Reva pergi menuju kasurnya. Menatap kosong kearah pecahan kaca. Dia hanya mendengar suara kakaknya yang masih saja memanggilnya samar karena tidak ingin mendengar ocehan kakaknya. Dia berteriak sekali lagi.
"PERGI BANG!! JANGAN GANGGU REVA!!!"
Suara Rey sudah hilang. Mungkin dia sudah pergi ke kamar, pikir Reva. Saat ini Reva ingin sendiri. Ia ingin menenangkan pikirannya.
Reva berdiri dan berjalan menuju jendela yang berukuran besar itu. Menatap taman dekat kamarnya yang hijau yang lebih mirip seperti kebun. Sebenarnya dia menyesal saat tadi dia membentak kakaknya. Padahal kakaknya itu hanya tidak mau kalau Reva berbuat sesuatu yang membahayakan nyawanya.
"Maaf, Bang Rey!!" Tanpa sadar Reva menangis saat ini. Hanya isakan kecil namun bisa sedikit mengurangi rasa sesak di dadanya.
Reva berbalik duduk di kiri kasurnya. Menatap tembok yang menghubungkan kamarnya dan kamar Rey. Reva mengambil bantal dan memeluknya. Seakan akan dia ingin memindahkan rasa sakitnya pada bantal itu. Reva memeluk bantal itu sangat erat dan berjalan menuju tembok pemisah kamarnya dan Rey. Bersandar di sana. Tangisnya pecah. Dia tak mampu menahannya. Ia menutup mulutnya dengan bantal agar tidak terdengar oleh Rey.
"Maaf, Bang. Reva belum bisa jadi adik yang baik buat Abang. Tapi yang harus Abang tau, Reva sayang banget sama Abang. Reva juga sayang sama Adek, Bang. Kalian adalah keluarga Reva. Meskipun Reva masih butuh ayah sama bunda. Tapi Reva akan selalu jadi anak baik, Bang. Reva janji ngga akan nyusahin. Reva sayang Abang, Reva sayang Adit. Kalian udara Reva, kalian oksigen Reva."
Reva membenamkan wajahnya diantara kakinya yang ditekuk. Masih setia memangku bantalnya. Tanpa sadar, ia tertidur di lantai.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Reva Indy Paleva
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Boyfriend
Teen FictionBerusaha menjadi Ayah dan Bunda bagi kedua adiknya. Reyhan Dirga Paleva harus berusaha keras membagi perhatian dan kasih sayang antara dirinya dan kedua adiknya. Dia tidak sempat berpikir untuk mencari kekasih karena menurutnya kedua adiknya masih...