"The biggest problem is, I still care." -uknown
Musim kemarau berlalu. Perlahan-lahan daun-daun yang meranggas digantikan dengan daun muda yang hijau lembut. Sungai uang tadinya dangkal kembali deras. Tanah kering menjadi lebih lembab. Udara menjadi lebih segar dari biasanya. Semalam mulai hujan, pertanda musim penghujan tiba.
Jika dalam musim pancaroba seperti ini suasana belum begitu menyusahkan. Seperti terkadang hujan tapi lebih banyak panasnya. Jadi tidak terlalu basah atau sibuk dengan payung. Namun, terkadang hal-hal sepele seperti cuaca tidak stabil ini banyak orang mendadak sakit. Jadi ibu memberitahu ku untuk berhati-hati diluar.
Masuk sekolah sudah sekitar dua minggu lamanya. Tidak terasa bahkan lama-lama seperti rutinitas. Di kelas aku sudah mendapat teman banyak. Terutama anak-anak cowok yang duduk disekitar tempat dudukku. Karna memang aku duduk dibelakang dan mayoritas yang duduk disana anak cowok.
Setiap jam istirahat pergi ke kantin dan makan disana. Berjumpa banyak anak bahkan anak kelas saat aku kelas 7 dulu. Kami saling menyapa dan mengobrol beberapa hal.
Saat itu aku bersama Ghea, satu kelas denganku. Ia bercerita cukup banyak dan tipikal anak yang ramah. Tiba-tiba dia bertanya padaku sesuatu yang tidak kusangka-sangka.
"Lyn, kau pernah bersama Raka?"
Aku diam. Bergeming.
"Lyn, baik baik saja? Maaf tiba-tiba bertanya. Sekelas sudah tahu lho, kalau kau pernah dengan Raka."
"Oh iya, p-pernah" jawabku gugup
"Lalu kenapa kau putus dengannya?"
Kenapa, ya? Harus ku jawab apa ya? Aku diputuskan? Tidak tidak, jangan jawab seperti itu. Salah paham? Tidak ada sama sekali. Bosan? Ah jauh dari kata bosan, kecanduan malah. Orang ketiga? Tidak, tidak.
"Ada sesuatu diluar kuasaku" jawabku sambil menunduk
"Ah, jangan khawatir. Terkadang memang seperti itu."
Syukurlah, Ghea mengerti.
Ditanya begitu aku malah semakin penasaran sebab aku dan Raka putus. Mungkin memang harus bertanya, atau tidak? Kalau bertanya aku tak punya keberanian, kalau tidak aku mati penasaran. Bagaimana ini?
Selama pelajaran aku tidak fokus sama sekali. Memikirkan harus bertanya atau tidak. Hal sesimpel itu bisa membuatku benar-benar teriak dalam hati dan sekaligus mengutuk diri sendiri.
Jam pelajaran berakhir. Raka bangkit dari bangkunya. Keputusan untuk bertanya padanya, walau sedikit ragu.
"R-raka!"
Ia menoleh dan menatap dingin,
"Kau kenapa tiba-tiba ingin sendiri?"
"Aku..." ia langsung menunduk
"Hm?" tanya ku antusias
"Aku... Lyn, dengarkan, aku.."
2 menit kemudian
"Lyn, aku.."
Aku bosan. Kenapa tidak dia bicara langsung pada intinya?
"Aku.."
4 menit kemudian
"Sudahlah, sudah berakhir" kata ku dan meninggalkannya begitu saja. Aku benar-benar muak, selama hampir lima menit ia hanya berkata aku-aku tidak jelas begitu. Yang benar saja? Ada apa sih dengan Raka?
Hari itu aku menemukan celah padanya. Kurasa ia sulit mengatakan alasannya putus denganku. Aku merasa bisa beralih hati pada orang lain saat itu, hanya dengan mengetahui satu kelemahannya. Mengetahui bahwa ia tak sesempurna yang kukira. Naif. Memang.
Rasanya seperti teriak, AKU BAHAGIA SEKARANG!
Dan takdir menepuk pundak ku sehingga aku menoleh dan iapun berkata: TIDAK, TUNGGU DULU APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA.Aku yang saat itu tidak tahu menahu perkara takdir dan pilihan yang seperti itu. Menyedihkan, memang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Selflessly
RomanceLyana Natascha, seperti kebanyakan remaja, tidak ada yang spesial. Menyukai film, restoran fast food, hewan peliharaan yang lucu, aksesoris, game center, dan masih banyak lagi. Menaruh hati dengan seseorang yang tak terduga. Terbatasi dinding, sala...