My Future

106 13 16
                                    

Suara-suara menggempur dari berbagai arah, merambat lewat udara panas yang tak kunjung mendingin walau kipas angin sudah ada tiga. Kericuhan memenuhi isi kelas selagi Bu Esti--wali kelas IPA 2--pergi ke ruang kepala sekolah untuk rapat.

Jam kosong.

Meski jam kosong adalah yang ditunggu murid-murid karena bisa bertindak seenaknya, tetap saja aku menggerutu. "Berisik nih," keluhku, menatap sekeliling dengan malas selagi tangan kanan memangku dagu. "Kenapa nggak sekalian diliburin aja, sih."

Gadis remaja yang duduk di sampingku melirik sinis. Lantas dia bersandar pada kepala kursi tanpa mengalihkan tatapan dariku. "Tanya aja sama kepsek, berani?"

Aku berdecak. "Dengan resiko bisa-bisa dihukum." Aku duduk tegak, bersandar pada dinding dan tangan berlipat di dada. "Nggak, gue nggak berani."

Gadis itu, Rani, terkekeh pelan. "Sok-sokan, sih."

Aku tidak membalasnya, memilih untuk melihat Bu Esti yang masuk ke kelas dan langsung memukul papan tulis. Guru itu sadis, pikirku.

Perlakuan Bu Esti tadi menimbulkan dampak yang baik, karena seisi kelas yang tadi suasananya melebihi pasar kini terdiam, fokus mengarah ke wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu.

"Nggak bercanda lagi?"

"Nggak Bu!" seru seisi kelas, lantas Bu Esti tersenyum.

"Bagus. Ibu ada tugas buat kalian, mengingat sebentar lagi kalian akan lulus, ibu menugaskan kalian membuat cerpen dengan tema impian kalian sesudah lulus SMA."

Aku melotot sementara kelas mulai gaduh lagi, tapi tidak seberisik saat tidak ada Bu Esti.

Bu Esti berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekat ke barisan murid yang mulai tegang seiring langkahnya yang kian mendekat. Guru killer adalah sebutannya.

Kurasa aku tahu mengapa dia masih menjomblo sekarang.

Dan tanpa sadar aku meringis menyadari betapa tidak sopannya pikiranku.

"Kenapa Alra, kok meringis? Lagi sakit gigi atau lagi patah hati?"

Aku tersentak diiringi gelak tawa seisi kelas. Dan tanpa sadar aku kembali meringis. "Nggak kenapa-napa Bu." Dan Bu Esti kembali berjalan, melewati tempat dudukku dengan Rani yang--sialnya--menahan tawa.

"Cerpennya bertema impian, jumlah halamannya lima sampai enam aja. Diketik di word ya, soalnya tulisan kalian ada yang nggak bisa Ibu baca," kata Bu Esti. Aku bisa melihat iris hitamnya melirik ke sejumlah anak laki-laki yang seketika menunduk malu.

"Nanti di-print, lalu kumpulkan di meja Ibu jam sembilan sehabis pelajaran Bahasa Jepang, hari Kamis," lanjutnya.

Kini posisinya di depan barisan lagi. Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berdering nyaring.

"Oke, itu tadi yang Ibu sampaikan. Jangan sampai lupa, karena setiap murid yang melupakan tugasnya akan Ibu hukum dan nilainya akan ibu kurangkan," kata Bu Esti, menutup kelas hari ini.

****

Setelah itu, aku menjadi sosok yang rajin bolak-balik sampai-sampai ibuku memukul bokongku karena tidak bisa diam, kemudian lebih rajin dalam melamun, dan duduk di depan laptop hampir seharian, sebab tidak ada satu pun cerpen yang selesai, semua berhenti di tengah jalan.

Rani berada di sampingku, mengetik dengan sama seriusnya denganku. Hanya saja, tidak ada satu jam membuat cerpen, dia sudah selesai sementara aku ... bikin ulang lagi.

"Itu cerpen yang keberapa?" tanya Rani, keningnya berkerut.

"Lima puluh."

"Buset!" semburnya, menghentikan kegiatan mengetikku dan langsung menatapnya kesal.

Future DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang