Jam di sudut dinding berdetak nyaring karena hening yang keterlaluan. Dua menit lagi sebelum jam makan siang. Sementara, satu-satunya orang dalam ruangan itu seolah tak peduli pada keheningan itu. Ia tahu pasti, di balik pintu ruangannya yang tertutup rapat, lalu lalang staff dan pasien rumah sakit menimbulkan suara riuh rendah. Ia senang bahwa semua orang tahu ia tidak suka diganggu.
Kecuali satu orang.
"Fidel?" Tiga ketukan singkat sebelum suara itu terdengar.
Fidela mendongak, mengalihkan pandangan dari catatan yang sedang dipelajarinya ke arah pintu klasik di samping kanannya. "Iya, silakan masuk." Buru-buru disingkirkannya catatan kecil itu ke dalam laci yang paling terjangkau.
"Saya dapat pasien gila itu lagi." Laki-laki itu masuk begitu saja dan langsung mengambil tempat duduk di hadapan Fidela.
"Dia mengganggu Mas Harya lagi?" Fidela menegakkan punggungnya dan menatap seniornya serius.
"Dia itu terror, Del! Tapi saya nggak mungkin izin kerja karena takut sama pasien 'kan?" Lelaki itu tertawa hambar. Matanya gelap karena rasa takut. "Dia benar-benar pasien yang paling gila yang pernah saya temui!"
Fidela mengangkat alis. "Tapi Mas Harya tahu 'kan? Kita nggak bisa mengklaim seseorang 'gila' gitu aja."
"Dia selalu gangguin saya. Sepanjang hari dia duduk di ruangan saya. Saya sekarang nggak punya pasien lain, selain dia."
Fidela sebenarnya kasihan dengan seniornya yang satu itu. Tapi tak banyak yang bisa ia lakukan selain memintanya menemui Pras, Psikiater yang bisa menangani dengan baik orang yang disebutnya 'gila' itu.
"Kamu nggak pernah dapet pasien yang kayak gitu, Del?"
"Selama kerja di sini? Nggak pernah, Mas. Biasanya langsung dirujuk ke Pras," jawab Fidel singkat. Ia mulai resah karena sadar sebentar lagi jam makan siang dan ia sudah berjanji pada suaminya untuk makan siang bersama.
"Dia nggak mau ke Pras. Saya sudah berulang kali membujuknya supaya mau ke Pras. Bahkan ke kamu juga nggak mau." Fidela membelalakkan matanya, ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan seniornya itu kecuali menjadi pendengar yang baik.
"Hmm, sudah jam makan siang. Mas Harya nggak mau makan siang?"
Lelaki itu menggeleng. Persis seperti dugaan Fidela sebelumnya. Tapi ia juga tak mungkin membatalkan janji dengan suaminya secara mendadak. Ia harus memutar otak, lalu kemudian muncullah wajah Pras dalam benaknya. "Kita ke Pras ya? Semoga dia bisa bantu."
"Pras pasti memaksa saya untuk makan siang lalu minum aspirin," kata-kata itu menyiratkan penolakan halus.
"Pras nyuruh Mas Harya minum obat sakit kepala?"
"Iya, katanya biar nggak pusing menghadapi pasien saya. Tapi saya kan nggak sakit kepala," kata lelaki itu kesal.
"Jadi sekarang kita harus bagaimana?"
Fidela menatap jam dinding jengah. Sejak Mas Harya mengenal Fidela, lelaki itu jadi sering sekali datang ke ruangannya untuk berkeluh kesah. Fidela takkan keberatan, kalau saja lelaki itu tahu situasi dan kondisi. Bukannya malah datang sesuka hatinya dan membuat Fidela membatalkan beberapa pertemuan penting dengan pasien, bahkan dengan suaminya.
Pras adalah satu-satunya orang yang biasa mengatasi Mas Harya selama ini. Seringkali juga membantu Fidela terbebas dari sesi konseling bebas dengan Mas Harya. Tapi entah mengapa kali ini lelaki itu seolah tak peka. Apa Fidela perlu menghubunginya?
"Saya nggak tahu harus cerita ke siapa selain ke kamu, Del. Saya nggak tega kalau harus cerita ke istri saya. Nanti dia kepikiran."
Dan tega membebani saya seperti ini? Kamu pikir saya nggak punya dunia lain? Keluh Fidela dalam hati. Andai saja ia cukup kejam untuk mengatakan itu. "Iya. Nggak cuma ke saya, ke Pras kan juga bisa, Mas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Future Dreams
Short StoryApa mimpimu lima tahun yang akan datang? Di masa depan, seperti apa kamu melihat dirimu sendiri? Mimpi adalah angan yang kita pegang saat masih kecil, kemudian jadi harapan, dan berubah jadi cita-cita yang akan kita wujudkan ketika dewasa. Mimpi buk...