Musim semi perlahan pergi. Tulip-tulip mengatupkan kelopaknya. Kaki-kaki suhu semakin merangkak naik. Matahari pun tidak malu-malu lagi menampakkan wajahnya. Akhirnya musim berganti. Sungguh hari-hari yang berat kulewati. Percayalah, dari semua kuliah yang kuikuti, hanya sekitar 30%-nya saja aku pahami.
Kecapakan Bahasa Inggris di Turki masih rendah. Bagi mahasiswa baru sepertiku hal itu menjadi masalah besar. Walaupun ibuku berkebangsaan Turki, aku hanya pernah mendengar ia mengucapkan bahasa Turki apabila sedang marah.
Banyak yang mengira bahwa kuliah di luar negeri itu lebih menyenangkan dan banyak jalan-jalan. Menurutku itu adalah anggapan yang keliru. Jika itu adalah tujuan utama dalam menceburkan diri ke kehidupan kampus di luar negeri, sebaiknya harus dipikirkan ulang. Agar tidak menyesal sepertiku.
"Pak Ahmet bilang apa?" tanyaku kepada Medina yang duduk di depanku. Medina adalah temanku yang memiliki darah Malaysia-Turki. Aku sangat beruntung bisa mengenalnya saat masa orientasi. Ia adalah penerjemah yang baik.
"Beliau cakap, simpan buku kau kat ransel kite akan ujian."
Innalillahi! Ini bencana. Mengapa kusebut bencana? Karena di sini ujiannya tidak menggunakan multiple choice, tapi essay. Kalau pilihan ganda mungkin aku masih bisa memakai sistem hitung kancing atau arisan, tapi kalau essay "jangan harap" kata Medina.
Aku semakin gugup. Pak Ahmet mulai membagikan soal. Aku meringis menatap dua lembar kertas HVS itu penuh dengan pertanyaan. Aku tidak sempat belajar apapun. Materi Biokimia yang kuingat hanya siklus krebs.
Waktu semakin merayap. Aku masih memahami apa yang ditayakan soal-soal mematikan itu. Sejak SMA di Yogyakarta, aku memang tidak menyukai Kimia. Kukira dengan kuliah kedokteran aku akan terhindar dari materi menyebalkan itu, ternyata aku salah besar! Bukankah semua gerak-gerik manusia merupakan hasil reaksi-reaksi Kimia yang rumit?
"Kau sudah sampai mane?" Medina berbisik. Pertanyaan itu semakin membuatku gugup. "Waktu bersisa lima menit lagi, Vi," imbuhnya membuatku panik. Dari 25 soal, masih ada 5 buah soal yang belum kusentuh sedikitpun.
"Waktu habis!" kata Pak Ahmet nyaring. Yang lain langsung mengangkat tangannya, tapi aku masih tak ingin menyerah.
"Allevia, waktu habis!" ulang Pak Ahmet. Ia mendekat ke kursiku dan mengambil lembar jawaban soalku. Aku hanya bisa pasrah melihatnya. 20 soal itu kujawab dengan campuran bahasa Inggris dan Turki. Ya Allah kuserahkan semuanya kepada Engkau.
Pak Ahmet berhenti ketika kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Sebuah gumpalan kertas yang letaknya tak jauh dari kursiku. Di balik kaca mata tebal itu, ia menatapku dengan tajam. Sangat menakutkan.
"Allevia, apa ini? Kamu melakukan kecurangan dengan ini?"
"Tidak, saya tidak melakukan kecurangan dalam bentuk apapun. Itu bukan milik saya." Belaku. Dalam sekejap, titik tempatku berada menjadi pusat perhatian seisi ruangan.
Lebih baik aku mendapat nilai 0 daripada membuat kerpean. Aku tidak ingin merendahkan kemampuanku dengan cara-cara seperti itu. Sejak kecil, kedua orangtuaku tidak pernah menyuntikkan doktrin 'yang penting lulus' dengan menghalalkan segala cara. Allah lebih dekat daripada urat nadi dan kematian lebih dekat daripada tali sendal. Persidangan di padang mahsyar lebih menakutkan daripada persidangan di depan dosen.
"Bagaimana dengan ini? Apa kamu bisa menjelaskannya?"
Aku terdiam. Bagaimana mungkin di kertas itu ada tulisan Allevia Khanza Az-Zahra?! Kertas yang mempunyai nama di bagian atas seperti itu hanya buku catatanku. Dan orang yang tidak pernah beli atau punya buku catatan sehingga sering meminta dariku hanya...
Arslan!
Sial, aku tidak punya bukti.
"Ayo ke ruangan saya untuk remedial!"
Apa?! Remedial? Ia bahkan belum memeriksa jawaban yang susah payah kutulis sedemikian panjang. Tidakkah ia menghargai usahaku? Ini tidak adil.
"Allevia," panggilnya lagi memaksa.
Aku melangkah gontai di belakang Pak Ahmet. Laki-laki itu hanya terpana melihatku digelandang. Tak ada niat untuk mengakui kesalahannya. Namanya saja Arslan si singa pemberani, tapi nyalinya seperti kerupuk!
Hanya karena sebuah puisi berjudul 'lembayung cinta di langit kapadokya' mengapa bisa hatiku tertambat pada seorang laki-laki pengecut seperti dia?
***
New Story [Slow update]
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung Cinta di Langit Kapadokya
Spiritual1453, Konstantinopel ditaklukan oleh seorang Sultan Utsmaniyah bernama Muhammad Al-Fatih. 565 tahun berikutnya, aku ditaklukan oleh seorang gadis cengeng bernama Allevia Khanza Az-Zahra. -Arslan [Spiritual-Romance] Copyright © 2018 by Hana Humaira