Aku sangat bersyukur karena jarak flat dan Universitas Istanbul tidak terlalu jauh. Jadi, bisa kujangkau dengan berjalan kaki. Lumayan untuk menghemat uang sakuku. Bukannya aku pengeretan, tapi hidup di negeri orang itu bukanlah hal mudah. Apalagi untuk mahasiswa dengan beasiswa orangtua sepertiku. Huh! Aku baru paham bagaimana sulitnya mengatur keuangan. Apalagi pengeluaran yang tak sepadan dengan pemasukan.
Salah satu hal menyenangkan dari keseharianku adalah menyusuri jalan sambil memotret pemandangan. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan, senyum menawan Pak Youssef ketika membersihkan atau membalik tulisan closed menjadi open di pintu toko buku tuanya yang antik, kumpulan burung dara yang mendarat di tanah lapang depan gerbang kampusku, botol susu di depan pintu flatku yang selalu kosong—aku curiga Mehmet menukar botol susu milikku dengan miliknya yang tak pernah diisi susu—dan masih banyak lagi pemandangan unik yang suka kuabadikan di kameraku. Untungnya, aku memiliki printer sendiri untuk mencetak semua foto tangkapanku dengan mode polaroid lalu menempelnya hingga memenuhi dinding kamar. Mama pasti akan merepet kalau melihatnya. Aku harus mencopotnya sebagian sebelumnya pulang nanti.
Oh ya satu lagi—bunga mawar yang sekarat di halaman rumah bercat cokelat itu. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan dari batangnya padahal kusiram dengan air minumku setiap kali lewat.
Fokus mataku berubah ke rumah yang berdiri cukup jauh dari mawar yang mulai mengering nyaris sampai ke akar. Pagarnya terlihat sedikit berkarat di telan waktu. Rumput dihalamannya tumbuh liar sepanjang musim semi dan musim panas. Terasnya kotor sekali seperti kubangan sampah. Lampu rumah itu pun tidak pernah dinyalakan sehingga membuatku bertambah yakin kalau rumah itu tidak berpenghuni. Pemandangan rumah kosong seperti biasa. Tapi anehnya, aku selalu merasa ada yang memperhatikanku dari jendela kamar di lantai dua. Entahlah, aku tidak ingin membuat hipotesis apapun sehingga membangunkan bulu romaku yang selama ini tidur damai. Cukup mata kuliah Pak Ahmet yang menjadi sesuatu paling menyeramkan untukku.
Sehabis pulang nanti akan kueliminasi foto rumah itu dari koleksiku. Setelah menelan dua jam materi anatomi membrum superior hari ini aku yakin aku akan lupa kalau cerobong asap rumah cokelat itu pernah mengepulkan asap musim dingin lalu.
***
Ruang kuliah masih lengang. Hanya ada beberapa orang yang duduk berkumpul untuk membahas materi kuliah. Mereka friendly kok, tapi aku yang minder dari mereka. Bukan karena banyaknya tahi lalat yang berdiam di wajahku, tapi—lagi-lagi—karena bahasa Turki-ku yang masih cetek. Senyum dan anggukan adalah jurus andalanku jika mereka merapalkan kalimat atau pertanyaan yang sulit kucerna. Sehingga aku dijuluki 'putri senyum'. Terdengar seperti sapaan bersahabat memang, tapi kalau Arslan yang mengucapkannya... terdengar sangat menyebalkan.
Ini mungkin terdengar lebih aneh. Tapi, percayalah setiap hari senin atau jum'at, aku selalu menemukan sepotong surat menempel di bawah mejaku. Apakah Arslan memata-mataiku? Oh percayalah, ia bahkan hafal di mana aku ingin duduk. Ya, kita tahu kalau bangku kuliah tidak seperti bangku SMA yang bisa beri label hak milik.
Aku minta maaf dengan catatan curangku waktu itu. Kuharap kamu masih mau tersenyum kepadaku. Setidaknya dalam sehari kamu harus senyum minimal 3 kali kepadaku. Jika tidak, maka aku akan memanggilmu The pouting princess J.
Sekali lagi aku merasa ritme jantungku mendadak berdegup lebih cepat ketika membaca surat darinya. Jika ada hal yang lebih misterius dari Nessy di danau Locness atau Yetti... itu adalah Arslan. Bukan hanya membuatku dongkol setiap hari, ia juga sering membuatku salah tingkah. Lalu apa hal yang membuatnya semakin misterius? Ia sering bersikap seolah-olah hilang ingatan. Andai aku punya keberanian lebih, aku ingin sekali menggetok kepalanya keras-keras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung Cinta di Langit Kapadokya
Spiritual1453, Konstantinopel ditaklukan oleh seorang Sultan Utsmaniyah bernama Muhammad Al-Fatih. 565 tahun berikutnya, aku ditaklukan oleh seorang gadis cengeng bernama Allevia Khanza Az-Zahra. -Arslan [Spiritual-Romance] Copyright © 2018 by Hana Humaira