☀ Bab 1

546 41 1
                                    

İstanbul Üniversitesi  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

İstanbul Üniversitesi  

          "Pah, Via mau kuliah di Indonesia aja!" rengekku sambil menangis tergugu. Ya, inilah rutinitasku setiap malam. Menangis dan mengeluh kepada orangtuaku melalui Skype. Papa hanya tersenyum menanggapiku. "Belum satu semester masa sudah menyerah?" katanya lembut.

          Tangisku menyaring seperti anak kecil. "Tapi Via nggak bisa bahasa Turki, Pah. Susah, grammarnya aneh, dan guru lesnya galak." Jika kalimat bahasa Indonesia menggunakan rangkaian SPOK untuk bahasa Turki adalah sebaliknya. Jadi misalkan kalimat aku cinta kamu kalau diconvert ke bahasa Turki menjadi kamu aku cintai.

          "Sabar. Nanti pasti bisa kok. Papa waktu kuliah di Jerman juga gitu. Intinya belajar yang rajin, sholat jangan pernah ditinggalin dan sering-sering tanya sama Mama."

          "Mama nggak ada di Istanbul, Mama di Rotterdam. Via di flat hanya berdua sama Anne Hanifa," sahutku membuat Papa terdiam. Guratan sendu bisa kubaca dari garis wajah Papa yang mulai menua. Populasi rambut-rambut putih itu kian banyak dari terakhir aku melihatnya secara langsung.

          Papa sekolah konsultan, Mama pun tak mau kalah. Mengambil S2 di Belanda sambil bekerja. Semangat muda mereka sepertinya tidak menjadi gen dominan di tubuhku. Aku kalah dari mereka.

          "Yaudah, minggu depan Papa ke sana buat nemenin Via ya," kata Papa akhirnya. Memang itu yang kuinginkan. Ah, Papa selalu mengerti aku. "Papa minta maaf, minggu ini Papa nggak bisa." Ia tersenyum lagi. Di antara kami bertiga, sepertinya akulah yang paling egois. Aku tahu di Jakarta Papa sendiri, di Rotterdam Mama juga sendiri, kami bertiga pun sama-sama menuntut ilmu. Tapi apakah salah jika aku ingin bersama mereka? Ya Rabb, mengapa ada perceraian di dunia ini? Mengapa harus orangtuaku?

          "Oh ya, supaya Via belajarnya lebih mudah, baca dan pahami dulu buku yang menggunakan bahasa Indonesia baru baca yang bahasa Turki. Dulu pegangan Papa itu Guyton, Ganong, Harper, dan Sobotta. Via punya 'kan?"

          Aku mengambil tisu baru untuk mengelap cairan yang keluar di hidungku. "Iya.... ebooknya. Sakit mata Via kalau kelamaan baca di laptop."

          "Oh, yaudah sekalian nanti Papa bawain textbook bahasa Indonesia supaya Via mudah belajarnya. Jadi, via harus lebih semangat lagi ya."

          Aku mengangguk patuh seperti anak-anak. "Terima kasih, Pah, I love you..." Kataku semringah.

***

          Suasana kantin ramai oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai belahan dunia. Tapi mahasiswa internasional fakultas kedokteran angkatan 2015 yang berasal dari Indonesia hanya aku. Jika ada waktu luang kami—mahasiswa dari Indonesia—sering meet up untuk mengadakan acara kecil-kecilan seperti peduli Palestina, memperingati Hari Kartini dengan membagikan bunga mawar untuk ibu-ibu, dan lainnya. Ya, hitung-hitung melepas rindu dengan menghabiskan waktu dengan teman-teman yang berasal dari tanah air yang sama.

          Bagi mahasiswa penerima beasiswa Turkish Scholarship seperti Medina, makan di kantin bukanlah masalah. Tapi aku... aku harus pandai mengatur keuangan. Terlebih lidah dan lambungku tidak terbiasa dengan masakan Turki. Jika biasanya roti menjadi cemilan, di sini roti adalah makanan pokok pengganti nasi. Kalaupun menanak nasi, mereka menggunakan garam.

          Saat aku menikmati nasi goreng bekalku dengan khidmat, tiba-tiba segerombolan mahasiswa yang kusebut 'Arslan and the genk' duduk di kursi kosong yang kusiapkan untuk Medina dan Bilqis yang masih antre mengambil makanan.

          "Kalian cari tempat duduk yang lain, itu adalah kursi Medina dan Bilqis," demoku. Arslan menyuruh tiga temannya duduk di tempat lain. Tapi Lucas malah menyeret satu kursi kosong yang tersisa, "Lucas, you dont take it anywhere! Take it right back!" seruku. Laki-laki berambut pirang itu hanya menunjukkan jejeran giginya, tersenyum menyebalkan, sedangkan aku sukses menjadi pusat perhatian seantero kantin.

          "Hey, calm down. Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri," ujar lelaki bermata biru yang kini duduk di seberangku.

          "But its not fair," Arslan tersenyum melihatku mendumel. Aku merasa risi dipandanginya seperti itu. Percayalah danau biru yang ada di matanya itu menatapku dengan intens, seakan ingin menyibak isi pikiran dan hatiku. "Please, keep your sight, we're not mahram."

          Ia memutar bola matanya dengan malas. "Yeah, i know. Kamu mengatakannya sepuluh kali dalam sehari."

          "Baguslah kalau kamu mengingatnya." Kataku datar, aku mempercepat makanku agar bisa menjauh dari kantin secepatnya pula. Aku masih kesal dengan si Singa itu karena kertas kerpean semalam. Bukannya aku tidak mau memaafkan, tapi apakah ia tidak tahu cara meminta maaf? Hanya lima huruf! "Sorry" cukup katakan itu saja.

          "Aku masih belum mengerti fisiologi tentang kontraksi otot, bisakah kamu menjelaskannya? Aku tahu kamu adalah orang yang paling rajin di antara kami semua."

          Aku rajin karena aku tidak mengerti sama sekali. Kalimat percakapan sehari-hari saja kadang aku tidak mengerti, apalagi penjelasan kuliah dalam Bahasa Turki? Bisa dibayangkan bagaimana penderitaanku? DO ataupun nilai jelek menjadi mimpi burukku sepanjang malam setiap harinya.

          Demi mengatasi semua itu aku sering menghabiskan waktu luangku—bahkan saat makan—untuk belajar. Membaca buku-buku tebal, mendengarkan rekaman kuliah di ponselku, bersahabat dengan google translate, sampai menjelajah internet. Waktu tidurku berkurang menjadi 4 jam dalam sehari. Tidur siang? Aku bahkan lupa apa itu tidur siang.

          "Itu karena kamu malas dan terlalu berlebihan menilaiku. Aku hanya mahasiswa rantauan yang sedang berjuang untuk bertahan," jawabku datar setelah menelan sisa nasi goreng yang kulumat cepat-cepat.

          "Jadi kamu tidak bersedia membagi ilmumu denganku?"

          Setelah mereguk beberapa mililiter air putih, aku menjawab lugas. "Tidak untuk saat ini. Aku pun masih harus belajar." Aku membereskan kotak bekalku untuk menuju ruang kuliah atau tempat yang aman dari Singa itu. Ia membiarkanku pergi dengan damai. Aku sedikit merasa aneh. Tidak seperti Arslan biasanya. Yang tidak akan berhenti mengangguku sampai mendapatkan apa yang ia inginkan. Apakah ia sedang lelah berburu? Entahlah. Aku tidak ingin menambah beban otakku dengan memikirkan hal itu. 

☀☀☀ 

Syukran katsir, jazakumullahu khair 

Lembayung Cinta di Langit KapadokyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang