Berfikir tentang Kuliah

2.1K 84 51
                                    


Saya menulis ini ketika habis ditolak jalur terakhir masuk PTN yaitu lewat Seleksi Mandiri (SM).
Jalur terakhir? Lalu bagaimana selanjutnya? Simak saja.

Tiga tahun lalu, awal-awal saya masuk SMA saya nggak punya tujuan yang pasti kenapa memilih SMA daripada SMK, walaupun sama aja sih menurut saya sama-sama bisa lanjut kuliah ataupun cari kerja.
Tapi ya pasti ada yang membedakan, dari segi materi pelajaran dan orientasi.
Orientasi SMA memang ditujukan untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi dan SMK ditujukan untuk bekerja.
Jurusannya pun berbeda, mungkin saya nggak usah menjelaskan yang ini soalnya nanti mleber kemana-mana karena saya fikir sudah hal yang lumrah diketahui oleh orang-orang lah ya hehe.

Balik lagi ke tujuan dan alasan saya memilih SMA. Kenapa saya pilih SMA?
Kalau alasannya sih, karena memang saya lebih tertarik materi-materi SMA karena jujur saya lebih suka ke teori dibanding praktek.
Dan untuk tujuannya, saya ingin melanjutkan kuliah.
Loh, SMK juga bisa kok? Mungkin ada yang bertanya seperti itu, dan jawabannya balik lagi ke alasan saya tadi yaa.
Dan kalau dari informasi yang didapat dari BK mengenai PTN, PTS, PTK lebih banyak di SMA tentu.

Oke, sekarang yang akan saya bahas adalah tentang masa-masa dimana saya mulai berfikir tentang kuliah.
Dari awal saya masuk SMA bahkan sebelumnya, saya memang punya keinginan untuk kuliah. Tapi ya waktu itu belum tau mau ambil jurusan apa. Namanya juga masih angan-angan.

Pas saya kelas 10 dan 11 sering banget tuh jam kosong dikelas gara-gara buat promosi bimbel. Dalam hati seneng sih, apalagi kalau kalau pas jamnya matematika. Wah.. Surga dunia deh.

Ya, sekolah saya memang sering kedatangan bimbel-bimbel begitu, mungkin sekolah kalian juga yaa..
Dari bimbel itulah saya pertama kali dikenalkan dengan yang namanya kuliah seperti PTN, PTS, PTK selain dari guru-guru tentunya.

Baik guru maupun promosi bimbel itu sering sekali bilang kalau "grafik nilai kalian harus naik untuk SNMPTN nanti, atau setidaknya tetap." begitu katanya.

Waktu itu saya nggak mengerti apa itu SNMPTN (guru saya sering ngomongnya Senampeteen) karena memang masih baru yaa.
Walaupun sering dijelaskan mengenai presentase yang berhak ikut SNMPTN, berapa PTN yang boleh dipilih, berapa prodi yang boleh dipilih dan balablabla, saya tetap nggak maksud bagaimana makanismenya.
Yang saya tau intinya nilai harus naik, gitu aja.

Ada juga salah satu guru yang sering sekali memberi gambaran bagaimana kuliah nanti, contohnya dalam milih SKS. Padahal waktu itu masih kelas 10, dan alhasil saya nggak paham juga. Mungkin otak saya masih kapasitas anak SMP waktu itu jadi nggak nyampe-nyampe.

Lama-lama, karena keseringan dengar tentang hal-hal seperti itu jadi ngerti dengan sendirinya.

Tapi walaupun saya tau guru-guru udah gempor-gempornya bilang kalau nilainya diusahakan stabil dan bagus saya tetep B aja karena masih kelas 10 dan pemikiran saya belum menjurus ke situ-situ (Jangan ditiru, ini salah kaprah. Sadar dari awal itu lebih baik hehe).

Alhasil, nilai raport saya minim sekali waktu semester pertama dan saya dapat peringkat hampir kepala tiga (ranking 28) dari 38 anak. Bukan nggak belajar yaa, saya tetep belajar kok. Tapi ya begitu, namanya awal-awal masih belum termotivasi jadi masih males-malesan.

Saya shock banget waktu tau dapat peringkat mendekati angka 30. ngerasa minus banget deh pokoknya. Sempat menyesal juga sih.
Tapi penyesalan saya itu nggak berarti apa-apa buat semester berikutnya. Peringkat saya masih di angka 20an (read 24). Tapi alhamdulillah walaupun begitu nilai saya masih naik lah walaupun nggak tinggi-tinggi sekali hehe.

Tibalah kelas 11, sudah mulai berfikir bagaimana masa depan nih, tapi masih abstrak. Di fase ini saya sadar, saya harus benerin nilai-nilai saya waktu kelas 10, setidaknya tujuan saya waktu itu biar bisa tembus SNMPTN.

[COMPLETED] Habiskan Jatah GagalmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang